Pasirnya putih, ombak yang landai, bule-bule yang berbaring, matahari yang memerah kekuningan saat tenggelam. Lingkungannya bersih juga, karena saya tidak melihat sampah plastik atau kertas, seperti yang saya temui di pantai 'perawan' di Malang, Pacitan, Situbondo dan pantai lain di Jawa Timur.
Enam jam saya menikmati pantai ini. Berjalan hilir mudik, dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Dari suasana terang benderang hingga gelap saat para penjual minuman mencopot payung besar dan mengangkut bir, minuman soda, teh botol dan sebagainya.
"Oktober ini memang lagi ramai, tapi kebanyakan dari luar (negeri)," kata Eno, tukang ojek yang mengantar saya ke Terminal Ubung, Bali, terminal bus untuk membawa saya ke Terminal Gilimanuk.
Pria kelahiran Semarang itu mungkin saja benar. Selama enam jam di Pantai Kuta, sedikit sekali wisatawan Nusantara. Yang banyak wisatawan dari Australia, Taiwan, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, bahkan dari Amerika Latin, seperti Gabriel, yang sempat satu bus dengan saya karena melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen, Banyuwangi.
Ombak Pantai Kuta di awal Oktober 2014 cukup tinggi tapi tidak terlalu berbahaya. Banyak wisatawan mancanegara yang memanfaatkan untuk belajar surfing (bermain selancar). Tidak sendirian karena terlihat sebagian besar berkelompok, dengan pemandu lokal. Melihat seragamnya dan cara bermainnya, tampak kalau masih pemula di bidang surfing.
Suasana temaram berganti kerlip lampu hotel di seberang Pantai Kuta menyihir saya, membawa saya terngiang sentakan suara Andre Hehanusa :
Bersemi dan tetap akan bersemi
Mewangi dan tetap akan mewangi
Bersama dirimu, walau kini tlah jauh
Kasih.....suatu saat di Kuta Bali
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI