Pengulangan ide atau gagasan terus menerus menunjukan seseorang "stagnan" dalam pikiran---mentok.
Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan berlanjut, maka para pendengar akan cenderung jenuh. Sama halnya dengan makanan.Â
Kalau disodorkan menu makanan yang sama terus-menerus, maka pasti akan membosankan. Untuk itu, pengembangan pikiran sangat penting.
Dalam konteks berkhotbah, jika kondisi tersebut terjadi di gereja Anda, maka pendengar khotbah akan lebih cenderung mencari atau mendengar pengkhotbah yang notabene "inovatif."
Beberapa kenalan, berkeluh: saya sudah bosan dengan khotbah yang "monoton." Bahkan, mereka cenderung mendengar "pengkhotbah youtube," karena menurut mereka, pesan kebenarannya lebih relevan dan kontekstual.
Dalam bukunya 7 langkah menyusun khotbah ekspositori, Beny Solihin mengatakan bahwa "khotbah yang baik, tidak hanya terkait bobot (isi) khotbah, tetapi juga teknik khotbah."
Itulah sebabnya, meramu materi khotbah yang baik, perlu diseimbangkan dengan teknik khotbah yang baik.Â
Dua-duanya penting. Jika, isinya khotbah kurang diberi perhatian serius, atau asal-asalan dipersiapkan, maka akan melahirkan khotbah yang dangkal atau menyesatkan.Â
Pertanyaan sekarang, apa indikator isi khotbah yang baik itu? Isi khotbah yang biasanya memerhatikan prinsip menafsir secara ketat.Â
Hal ini penting sekali dalam menyusun khotbah. Jika seorang pengkhotbah tidak memahami prinsip menafsir dengan baik, maka pasti isi khotbahnya dangkal. Tidak memiliki bobot.Â
Jika khotbah dangkal, maka akan berpengaruh kepada kualitas kerohanian pendengar.Â
Namun, jika isi khotbah diberi perhatian serius, dipersiapkan dengan "matang," namun mengabaikan teknik khotbah, maka akan melahirkan khotbah yang membosankan.Â
Persoalan dari khotbah yang membosankan adalah pesannya tidak benar-benar mendarat ke hati pendengar.Â
Maka, pilihannya, adalah---keseimbangan. Maksudnya, sang pengkhotbah mesti memberi perhatian pada isi khotbah dan teknik berkhotbah.Â
Tidak boleh dominan pada salah satunya. Khotbah yang hanya memerhatikan aspek teknikal hanya sampai pada merangsang psikis atau emosi pendengar.Â
Namun tidak sampai pada 'kognitif' pendengar. Pengertiannya tentang Allah dangkal. Ini persoalan. Maka, suka atau tidak suka, seorang pengkhotbah tidak boleh tidak harus terus mengembangkan muatan khotbahnya dengan terus belajar.Â
Satu ketika, John Wesley pernah menasehati para pendeta mudah dibawah kepemimpinannya bahwa "Anda belajar atau berhenti melayani?"Â
Untuk itu, saya mendorong para pengkhotbah untuk terus meng-"upgrade" diri dengan disiplin belajar sehingga melahirkan khotbah yang tidak monoton, namun tetap relevan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H