Kedua, hubungan yang toxic cenderung tidak selektif dalam memilih pasangan. Alkitab menyebutnya "memilih siapa saja yang disukai" (Kejadian 6:2).Â
Bukankah budaya kita demikian? Clayton dan Charie King menjelaskan demikian, "seandainya ada satu bidang dalam kehidupan di mana kita mau memiliki kebebasan dan otonomi penuh, maka itu adalah bidang cinta dan hubungan."Â
Lanjut mereka menambahkan, "betapa beraninya Tuhan turut campur tangan dalam hubungan kita."
Bayangkan untuk urusan cinta, Anda menyingkirkan Tuhan. Padahal Alkitab memperingatkan, dalam urusan apa pun mestinya melibatkan Tuhan.Â
Bahkan, Allah menentang orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri. Pengkhotbah mengatakan, "menuruti keinginan hati, membuat kita akan dituntut oleh Allah" ( Pengkhotbah 11:9).
Ketiga, hubungan yang toxic tidak mempersoalkan atau memperkarakan latar belakang kepercayaan atau agama.Â
Dalam Alkitab, bangsa Israel dilarang keras untuk kawin dengan yang non Israel.Â
Alasannya karena perkawinan silang akan mencondongkan hati Israel kepada allah lain.Â
Perkawinan campur akan menjadi jerat bagi Israel sendiri, sehingga mereka berlaku tidak setia kepada Allah.Â
Dalam sejarah perjalanan bangsa Israel, penyembahan berhala menjadi semacam pertunjukan yang dilakoni bangsa ini sehingga membuat Allah murka.Â
Saya sering mendengar ungkapan, "proses perkawinan akan mengubah keputusan pasangan kita yang tidak seiman berbalik mengikuti iman pasangannya."Â