Menanggapi tolak UKT mahal yang menggalang 1000 tanda tangan di UINSA dalam aksi ORIGINT (Organisasi Internal), baru-baru ini, menandai adanya sebuah perhatian separuh dalam diri mahasiswa saat ini. Dalam aksi itu seolah titik kesalahan dalam pendidikan berpusat pada tangan kotor para birokrat. Perilaku korupsi, misalnya, ketidakmemihakan, dan kesewenang-wenangan. Ketiganya melebur dalam pikiran, dan karena itu setiap ada aksi tidak lepas dari pengertian sekat-sekat itu.
Aksi ORIGINT terhadap tingginya UKT memang hak seluruh mahasiswa sebagai pemikir dan agen kontrol, tapi lain sisi mereka juga membuka dirinya yang sama sekali kurang menuntut kebaikan sistem ajar pendidikan, melainkan mengantisipasi supaya PT tidak menjadi halaman kapitalis. Mengharapkan PT seperti penjual sandang-pangan yang menjual barangnya dengan harga berdasarkan ekonomi masyarakat.
Sementara pentingnya kebaikan sistem ajar pendidikan justru sering larut dalam keseharian banal, dengan pengabaian, baik yang tidak disengaja atau tidak disadari di dalam kelas saat proses belajar berlangsung. Mengapa? Tentu karena ini adalah aspek yang terlalu jarang dibicarakan oleh mahasiswa. Bukan tidak penting, tapi pusat pemikiran mereka berpusat pada hal-hal yang itu saja. Degradasi akhirnya, dalam tindakan ini, menyusut menjadi kebiasaan yang tidak disadari.
Dalam obrolan itu, saat menggugat tingginya UKT, mereka ikut merasakan kesedihan, kebejatan dan amarah yang terus mengalir. Kembali pada tiga aspek kebiasaan di atas membuat mereka selalu curiga pada sistem kediktatoran. Hal yang seperti ini pendidikan tidak dipikirkan. Tidak ada intensitas, misalnya, menggugat sistem dan metode pengajaran, atau pelayanan seorang dosen yang kurang menarik.
Memikirkan lebih serius hal seperti itu tadi sebenarnya tidak jauh lebih penting dari mencurigai praktik-praktik kediktatoran. Karena sangkut paut paling penting dari perkembangan mahasiswa tidak lepas dari metode dan interaksi antara guru dan murid. Apakah terjadi dehumanisasi atau ketidakadilan gender dalam pendidikan, misalnya, seharusnya menjadi perhatian mahasiswa sebagai agen kontrol.
Kecurigaan pada praktik kediktatoran institusi dan kecurigaan yang bersangkut paut dengan pengajaran sama-sama mempunyai nilai positif dan negatif.Â
Mahasiswa yang menuntut tidak adanya transparansi dana yang dilakukan kampus setelah melakukan pembangunan besar-besaran bernilai positif. Karena pertama itu adalah kewajiban mereka sebagai agen kontrol dan kedua transparansi dana wajib hukumnya bagi setiap kampus. Tapi bisa pula itu praktik negatif jika tidak berdampak baik pada praktik pendidikan setiap hari.
Sedangkan gugatan pada praktik pendidikan yang kurang besar pengaruhnya atau kurang efektif akan bernilai positif apabila tuntutan itu terpenuhi ikut membentuk jati diri mahasiswa dalam mengkritisi lembaga kampus. Mengapa? Karena tanda kampus maju sekurang-kurangnya ada dua, pertama dari pengelola, kedua dari praktik-praktik yang disuguhkan.
Oleh karenanya tuntutan hidup seperti itu sebenarnya sudah pernah diklaim oleh Martin Heidegger, bahwa orang yang tak punya tekad dan tenggelam dalam keseharian, maksudnya ikut-ikutan, dapat kehilangan waktu berharganya. Tetapi orang yang memiliki kebulatan tekad dan tidak ikut-ikutan, tidak pernah kehilangan waktu berharganya.
Apa yang dimaksud Heidegger itu adalah sikap kritis dan sadar. Mahasiswa, oleh karena itu, yang selalu tenggelam dalam keseharian banal bermodel kritik pada birokrat, seperti korupsi, kenaikan UKT, melupakan praktik pendidikan paling penting, seperti metode ajar yang mengalami turbulensi.Â
Coba sekarang kita bayangkan atau rasakan apakah selama ini metode dosen dalam mengajar sesuai dengan UKT yang dibayar atau tidak? Apakah membayar UKT tinggi, misalnya sesuai tingginya UKT UINSA yang digugat ORIGINT senilai 10,300,000, memberi kepuasan selama satu semester? Hari ini pertanyaan itu wajib dijawab.
Masih diingat dalam literatur Eropa ketika Plato membeli kuil Hekademos dari uang tebusan atas dirinya yang akan dijual sebagai budak oleh seorang tiran, sekarang menjadi Akademia kampus tertua, Menurut F Budi Hardiman mengingatkan kita kembali bahwa perguruan tinggi didirikan bukan demi uang atau kuasa, melainkan demi intelektualitas (Kompas, 28,13).
Pelajaran dari Plato adalah dalam lembaga pendidikan yang terpenting adalah pendidikan itu sendiri. Berhubungan dengan hak mahasiswa dalam berpikir dan bertindak, kelemahan dalam sistem ajar pendidikan kita hari ini harusnya menjadi paling utama, dan selanjutnya masalah eksternal.Â
Logikanya sederhana jika kampus bersih dari praktik-praktik kotor, tapi sistem pendidikannya masih sporadis maka hanya berubah sisi keseimbangannya. Jalannya masih terseok-seok.
Demonstrasi-demonstrasi kediktatoran, ide-ide HAM dan keadilan pendidikan sudah menjadi bulan perhatian di Indonesia. Tapi selain memperhatikan itu, metode, pengajaran, kemampuan pendidik sangat berpengaruh dalam membentuk peserta didik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H