Mohon tunggu...
Hari Raksantaka
Hari Raksantaka Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Easy...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelecing Rasa "Masa Lalu" ,Pahit !

17 November 2013   07:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua tahun terakhir adalah masa tersulit dalam hidupku, terhitung sejak Tuhan berkontemplasi kemudian mengutukku berkelamin wanita. Sebagai seorang wanita, aku melakoni hidup dengan wajar, seperti wanita kebanyakan, bedanya, wanita kebanyakan tidak merasakan sakit seperti yang aku alami. Bayangkan saja, kamu mencintai seseorang dan dia membalas cintamu bahkan lebih, tapi kamu tidak akan pernah bersatu dengannya. Kenapa ?. Kamu tidak bisa membayangkan sakitnya, tentu saja, karena kamu tidak pernah mengalaminya. Kenapa ?. Aku tidak mengada-ada, ini sungguh terjadi. Dan itu kisah silamku, memori yang tak ingin pergi, menunggangi bagian terdalam otakku. Ada apa ?. Untungnya, Tuhan melengkapi penciptaanku dengan chips ganda, kekuatan lebih, kekuatan untuk bertahan hidup dari musibah apapun, kecuali kematian dan keberanian untuk merobohkan manifestasi sosial yang mengakar di keluargaku.

***

“Anjani, kamu wanita terbodoh !”

“Tidak, aku wanita terkuat !”

“Tapi kamu hampir mati !”

“Tidak, aku hampir menikah !”

Entah kenapa mereka mengataiku bodoh. Menurutku merekalah yang bodoh, mereka buta. Apa mereka tidak melihat, siapa wanita berjubah hitam berlengan lebar di barisan terdepan saat upacara wisuda dua tahun lalu. Menurutku mereka iri kemudian dengan sengaja melempar ingatan mereka entah ke tong sampah mana. Jika saja aku tahu, akan kupungut, kumasukkan kembali kedalam otak mereka. Itu momen sakral, haram untuk dilupakan. Biar ku beri tahu ya, wanita pintar itu adalah aku, Anjani dengan indeks prestasi tertinggi sepanjang sejarah kampus STKIP, 3.99. Jangan bilang “wow” itu kurang menurutku.

“Syarif tidak benar-benar mencintaimu, dia mempermainkan perasaanmu saja” Wanita disamping mencoba merongrong keyakinanku. Kalimatnya mengendap dalam telingaku, berkerak, kemudian menimbulkan bau busuk untuk hidungku yang bangir.

“Apapun itu, aku bukan kamu ! kita tidak sama !” Sahutku kesal. Apapun yang terjadi denganku, mengapa Nuray selalu saja ingin ikut campur. Aku tidak butuh peran pengganti. Selama ini aku menikmati gaya pacaran backstreet. Bukankah itu sedang nge-trend dikalangan remaja masa kini?.

Seperti tahu isi hatiku, Nuray membalas “Anjani, dengarkan aku. Kamu bukan remaja lagi, kamu wanita berumur, usia kita hampir sama, apa kamu tidak iri denganku ? aku hamil, lagi”

Aku tidak menjawab, dia bertutur panjang lebar, mengelus-elus perutnya. Dia ingin membuatku iri, dan itu tidak mempan.

“Syarif itu meninggalkanmu, sadarlah, kalian tidak pacaran, kalian hanya sepakat berteman baik” Kalimat Nuray terasa panas ditelingaku, dia tidak sadar telah menampar sahabatnya diruang kerja, tamparan keras, dengan kalimat yang pedas. Aku tidak sudi memandangnya, kubiarkan saja dia mengoceh seenak mulutnya.

“Ah, sudahlah, kamu pasti tidak ingin aku berlama-lama disini, aku pulang duluan, bye”

“Hmmm… “Aku membalas pelit. Aku sebenarnya tidak keberata dengan keberadaan Nuray disini, asalkan mulutnya disumpali tas import yang selalu terapit di ketiaknya.

Ruangan ini terlalu besar untuk sendiri, tumpukan buku, meja-meja yang berjejer rapi, dan kursi-kursi kosong yang ditinggal para guru, waktu belajar siswa memang sudah berakhir dua puluh menit yang lalu. Aku masih ingin duduk disini, merenung bersama meja dan kursi, bersama tumpukan buku dan almari di pojok ruangan, aku suka mereka. Mereka tidak banyak bicara.

Nuray boleh saja mengecap ku sebagai wanita terbodoh, ia benar. Aku mengakui kebodohanku. Aku menunggu siapa ? Syarif ? dia sungguh tidak akan pernah menjadi suamiku. Lain halnya jika ibuku meninggal, atau mungkin mamiq nya yang meninggal, itu akan mudah bagi kami. Aku tidak sedang berfikir untuk meracuni ibuku sendiri, tidak. Aku tidak pernah berfikir begitu. Aku juga tidak berniat menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Kiayi yang dipanggil ayah oleh Syarif, manamungkin, di Lombok ini mana ada pembunuh sewaan. Ojek banyak !.

Kompulsif ! itu yang aku pikirkan. Ibu seringkali mengingatkanku perihal adat, aturan yang berlaku dalam keluarga. Hampir sepanjang malam, ia menyesaki telingaku dengan cerita kesatria dari tanah Pujut, almarhum ayahku. Ia bertutur perihal keberanian ayah menculik ibu dari kakek, semasa mudanya dulu. Menurutnya ayah adalah Kesatria tergagah di Pujut saat itu. Dalam ritual menjelang pernikahan, penculikan oleh pihak lelaki adalah bagian yang paling romantis dan itu adat, adat keluarga ningrat, tuturnya. Aku bergeming dengan cerita folk yang selalu dipaparkan ibu. Adat macam apa itu, bukankah itu kriminal ?. tapi begitulah ibuku, dia selalu bersikeras, lelaki manapun yang hendak mempersuntingku, harus menculikku diam-diam. Tanpa terkecuali Syarif, anak Kyai yang mengharamkan pencurian dan tidak akan pernah sudi anak laki-lakinya menculik anak gadis orang lain. Keadaan itu yang membuat kami mengurungkan pernikahan dua tahun lalu dan mengahiri semuanya, kemudian menerima kenyataan pahit sebagai teman baik. Itu tidak mudah, aku hampir mati putus asa. Seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu pernikahan, membuatnya melambung di ketinggian, bahagia berdatangan. Aku sempat mersakannya, sebelum aku dihempaskan ketanah oleh adat yang dianut keluargaku. Sempat terlintas ide untuk menyablon semua pakaianku dengan tulisan “Hey para pria bujang , culiklah aku !” tapi itu konyol, seorang guru tidak mungkin melakukannya.

“Bu guru, sudah ditunggu” Fadli, satpam sekolah membuyarkan lamunanku, “tus” meletuskan gelembung imajiner yang mengapung tepat diatas jilbabku.

“hah…iya ” balasku kaget.

Marham pasti menungguku sedari tadi, memarkir motornya di depan gerbang sekolah, padahal disana tergantung papan yang bertuliskan “Dilarang parkir di depan gerbang !”. Kepala sekolah sering memperingatiku perihal kelakuan ojek pribadiku, tapi kuacuhkan saja, salahnya tidak membeli gerbang yang bisa berbicara . Ku beritahu ya, Marham adalah ojek paling setia di Pujut, dia hampir selalu menemaniku kemanapun aku pergi, mengitari jalanan lombok yang bobrok, sama bobrok dengan pemerintahnya, tentu aku membayar setiap perjalanan kami, tapi dia tidak mematok harga. Dia selalu bilang “Seikhlasnya saja bu guru”, tuh, baik kan dia .

***

Di rumah, aku tidak banyak beraktifitas, aku lebih suka mengurung diri dikamar. Memeriksa tugas siswa-siswa yang memang sudah diperiksa sebelumnya dan tidak penting. Berbeda dengan wanita kampung seusiaku, berkumpul di warung inaq Romlah, curhat masalah keluarga masing-masing, aku tidak suka itu, bukan karena aku belum berkeluarga, tapi apa kata siswaku bila melihat gurunya berada disana, menjual kecap. Bukankah itu aib ?. Iya, itu aib bagiku. Bagi seorang guru, mantan mahasiswa terpintar di STKIP.

“Ani, makanlah dulu, Nak” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar. Oh ya, ibuku lebih suka memanggilku “Ani” katanya kalau memanggilku “Anjani” itu kepanjangan. Aku tidak keberatan dengan itu, asalkan suara ibu tidak berubah menjadi suara Rhoma Irama.

Pelecing !”

“Besok akan ibu buatkan lagi ”

“Sungguh ?”

“Tentu”

Sebagai anak satu-satunya, apalagi sepeninggal ayah, Ibu memperlakukanku seperti guci antik berusia ratusan tahun yang diletakkan di sudut ruang tamu, tidak boleh disentuh , hanya boleh dipandang. Aku bahagia dengan itu, terlebih ibu selalu mengabulkan semua pintaku. Jujur saja, saat merestui keinginanku melanjutkan Madrsah Tsanawiyah di Pancor, matanya berkaca-kaca, aku tidak bohong, aku bisa melihat wajahku sendiri dimatanya , ibu kemudian memelukku, mengusap jilbab yang kebesaran untuk ukuran kepalaku waktu itu. Setiap minggu pagi, sepulang dari Madrasah, selalu ku temukan ibu tertidur dengan posisi duduk dikursi panjang yang bersandar ditembok kamar kosku. Ibu tidak sendiri, ia memeluk rantang bersusun yang dibungkus dengan taplak meja ungu bermotif bunga. Aku pernah bilang ke ibu untuk tidak ke Pancaor setiap hari minggu, bukankah aku selalu pulang ke Pujut setiap hari Jumat ? Tapi itulah ibuku, “Supaya adil, Nak…. Ani pulang mencari ibu, ibu juga akan kesini mencari Ani” begitu katanya.

“Lelaki seperti Syarif bukan ksatria” Celetuk ibu disela makan siang kami. Tidakkah dia tahu kalimat itu bisa membangkitkan sisi setimentil daram diriku. Menumbuhkan sepasang tanduk di kepalaku, merubahku menjadi iblis. Tidak cukupkah aku dihempas oleh peristiwa masa lalu. Apakah harus di sertakan sebagai menu makan siang. Atau mungkin kangkung ini dipetik dari empang dua tahun lalu. Pastas ! rasanya seperti masa lalu. Pahit !

“Penjara di Lombok harusnya dipenuhi para lelaki ksatria! itu pantas bagi pencuri” Balasku kesal. Aku tahu, kalimatku tidak akan membuat ibu marah, tapi membuatnya diam. Dan menurutku kalimatku tidak salah, mungkin saja ibu terdiam karena sepakat denganku, dia hanya gengsi dengan gelar ningrat dari leluhurnya--yang entah siapa, sejarahpun tidak mengakuinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun