“Ani, makanlah dulu, Nak” Suara itu terdengar dari balik pintu kamar. Oh ya, ibuku lebih suka memanggilku “Ani” katanya kalau memanggilku “Anjani” itu kepanjangan. Aku tidak keberatan dengan itu, asalkan suara ibu tidak berubah menjadi suara Rhoma Irama.
“Pelecing !”
“Besok akan ibu buatkan lagi ”
“Sungguh ?”
“Tentu”
Sebagai anak satu-satunya, apalagi sepeninggal ayah, Ibu memperlakukanku seperti guci antik berusia ratusan tahun yang diletakkan di sudut ruang tamu, tidak boleh disentuh , hanya boleh dipandang. Aku bahagia dengan itu, terlebih ibu selalu mengabulkan semua pintaku. Jujur saja, saat merestui keinginanku melanjutkan Madrsah Tsanawiyah di Pancor, matanya berkaca-kaca, aku tidak bohong, aku bisa melihat wajahku sendiri dimatanya , ibu kemudian memelukku, mengusap jilbab yang kebesaran untuk ukuran kepalaku waktu itu. Setiap minggu pagi, sepulang dari Madrasah, selalu ku temukan ibu tertidur dengan posisi duduk dikursi panjang yang bersandar ditembok kamar kosku. Ibu tidak sendiri, ia memeluk rantang bersusun yang dibungkus dengan taplak meja ungu bermotif bunga. Aku pernah bilang ke ibu untuk tidak ke Pancaor setiap hari minggu, bukankah aku selalu pulang ke Pujut setiap hari Jumat ? Tapi itulah ibuku, “Supaya adil, Nak…. Ani pulang mencari ibu, ibu juga akan kesini mencari Ani” begitu katanya.
“Lelaki seperti Syarif bukan ksatria” Celetuk ibu disela makan siang kami. Tidakkah dia tahu kalimat itu bisa membangkitkan sisi setimentil daram diriku. Menumbuhkan sepasang tanduk di kepalaku, merubahku menjadi iblis. Tidak cukupkah aku dihempas oleh peristiwa masa lalu. Apakah harus di sertakan sebagai menu makan siang. Atau mungkin kangkung ini dipetik dari empang dua tahun lalu. Pastas ! rasanya seperti masa lalu. Pahit !
“Penjara di Lombok harusnya dipenuhi para lelaki ksatria! itu pantas bagi pencuri” Balasku kesal. Aku tahu, kalimatku tidak akan membuat ibu marah, tapi membuatnya diam. Dan menurutku kalimatku tidak salah, mungkin saja ibu terdiam karena sepakat denganku, dia hanya gengsi dengan gelar ningrat dari leluhurnya--yang entah siapa, sejarahpun tidak mengakuinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI