“Syarif itu meninggalkanmu, sadarlah, kalian tidak pacaran, kalian hanya sepakat berteman baik” Kalimat Nuray terasa panas ditelingaku, dia tidak sadar telah menampar sahabatnya diruang kerja, tamparan keras, dengan kalimat yang pedas. Aku tidak sudi memandangnya, kubiarkan saja dia mengoceh seenak mulutnya.
“Ah, sudahlah, kamu pasti tidak ingin aku berlama-lama disini, aku pulang duluan, bye”
“Hmmm… “Aku membalas pelit. Aku sebenarnya tidak keberata dengan keberadaan Nuray disini, asalkan mulutnya disumpali tas import yang selalu terapit di ketiaknya.
Ruangan ini terlalu besar untuk sendiri, tumpukan buku, meja-meja yang berjejer rapi, dan kursi-kursi kosong yang ditinggal para guru, waktu belajar siswa memang sudah berakhir dua puluh menit yang lalu. Aku masih ingin duduk disini, merenung bersama meja dan kursi, bersama tumpukan buku dan almari di pojok ruangan, aku suka mereka. Mereka tidak banyak bicara.
Nuray boleh saja mengecap ku sebagai wanita terbodoh, ia benar. Aku mengakui kebodohanku. Aku menunggu siapa ? Syarif ? dia sungguh tidak akan pernah menjadi suamiku. Lain halnya jika ibuku meninggal, atau mungkin mamiq nya yang meninggal, itu akan mudah bagi kami. Aku tidak sedang berfikir untuk meracuni ibuku sendiri, tidak. Aku tidak pernah berfikir begitu. Aku juga tidak berniat menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Kiayi yang dipanggil ayah oleh Syarif, manamungkin, di Lombok ini mana ada pembunuh sewaan. Ojek banyak !.
Kompulsif ! itu yang aku pikirkan. Ibu seringkali mengingatkanku perihal adat, aturan yang berlaku dalam keluarga. Hampir sepanjang malam, ia menyesaki telingaku dengan cerita kesatria dari tanah Pujut, almarhum ayahku. Ia bertutur perihal keberanian ayah menculik ibu dari kakek, semasa mudanya dulu. Menurutnya ayah adalah Kesatria tergagah di Pujut saat itu. Dalam ritual menjelang pernikahan, penculikan oleh pihak lelaki adalah bagian yang paling romantis dan itu adat, adat keluarga ningrat, tuturnya. Aku bergeming dengan cerita folk yang selalu dipaparkan ibu. Adat macam apa itu, bukankah itu kriminal ?. tapi begitulah ibuku, dia selalu bersikeras, lelaki manapun yang hendak mempersuntingku, harus menculikku diam-diam. Tanpa terkecuali Syarif, anak Kyai yang mengharamkan pencurian dan tidak akan pernah sudi anak laki-lakinya menculik anak gadis orang lain. Keadaan itu yang membuat kami mengurungkan pernikahan dua tahun lalu dan mengahiri semuanya, kemudian menerima kenyataan pahit sebagai teman baik. Itu tidak mudah, aku hampir mati putus asa. Seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu pernikahan, membuatnya melambung di ketinggian, bahagia berdatangan. Aku sempat mersakannya, sebelum aku dihempaskan ketanah oleh adat yang dianut keluargaku. Sempat terlintas ide untuk menyablon semua pakaianku dengan tulisan “Hey para pria bujang , culiklah aku !” tapi itu konyol, seorang guru tidak mungkin melakukannya.
“Bu guru, sudah ditunggu” Fadli, satpam sekolah membuyarkan lamunanku, “tus” meletuskan gelembung imajiner yang mengapung tepat diatas jilbabku.
“hah…iya ” balasku kaget.
Marham pasti menungguku sedari tadi, memarkir motornya di depan gerbang sekolah, padahal disana tergantung papan yang bertuliskan “Dilarang parkir di depan gerbang !”. Kepala sekolah sering memperingatiku perihal kelakuan ojek pribadiku, tapi kuacuhkan saja, salahnya tidak membeli gerbang yang bisa berbicara . Ku beritahu ya, Marham adalah ojek paling setia di Pujut, dia hampir selalu menemaniku kemanapun aku pergi, mengitari jalanan lombok yang bobrok, sama bobrok dengan pemerintahnya, tentu aku membayar setiap perjalanan kami, tapi dia tidak mematok harga. Dia selalu bilang “Seikhlasnya saja bu guru”, tuh, baik kan dia .
***
Di rumah, aku tidak banyak beraktifitas, aku lebih suka mengurung diri dikamar. Memeriksa tugas siswa-siswa yang memang sudah diperiksa sebelumnya dan tidak penting. Berbeda dengan wanita kampung seusiaku, berkumpul di warung inaq Romlah, curhat masalah keluarga masing-masing, aku tidak suka itu, bukan karena aku belum berkeluarga, tapi apa kata siswaku bila melihat gurunya berada disana, menjual kecap. Bukankah itu aib ?. Iya, itu aib bagiku. Bagi seorang guru, mantan mahasiswa terpintar di STKIP.