Selama revolusi kemerdekaan konfrontasi antara Indonesia dan Belanda tidak hanya di medan pertempuran tetapi juga di bidang ekonomi & moneter. dagangan. Penguasaan ekonomi terhadap suatu wilayah merupakan faktor penting dalam upaya melemahkan kekuatan lawan. Penguasaan sektor moneter melalui berbagai kebijakan dan ekspansi wilayah peredaran uang merupakan salah satu strategi penting untuk menegakkan hegemoni territorial.  Dalam masa Perang Pasifik pendudukan Jepang, motif utama Jepang adalah ekonomi. Industri Jepang sangat bergantung pada negara-negara lain sebagai pasar produk Jepang dan pemasok bahan mentah yang diperlukan. Bagi Jepang, kawasan Asia Tenggara tidak hanya kaya akan sumber daya alam tetapi juga menyediakan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja murah. Secara khusus Hindia Belanda penting bagi Jepang karena kekayaan sumberdaya tambangnya terutama minyak bumi. Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia, Jepang  melancarkan sejumlah propaganda dan membentuk organisasi pendukung. Di antaranya adalah  Gerakan 3A dengan semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia.
Selain melancarkan propaganda menarik dukungan rakyat, pemerintah pendudukan Jepang memperbaiki berbagai objek vital untuk merehabilitasi  berbagai sarana ekonomi dan infrastruktur pendukungnya. Pemerintah Pendudukan Jepang membagi wilayah Hindia Belanda menjadi dua bagian, yakni wilayah yang dikuasai Angkatan Darat dan wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang. Di wilayah kekuasan Angkatan Darat yang meliputi wilayah Sumatera dan Jawa, yang mendominasikegiatan bisnis di sektor pertanian, perdagangan dan manufaktur. Sementara di wilayah kekuasaan Angkatan Laut yakni di antaranya Kalimantan dan Sulawesi, dan beberapa pulau lainnya, perusahaan negara lebih berperan. Di sektor produksi pemerintah pendudukan Jepang melakukan berbagai upaya peningkatan produksi beras di Jawa yang dipandang penting untuk menjamin ketersediaan pangan di daerah pendudukan selama perang.
Pembentukan pemerintahan pendudukan militer Jepang diikuti dengan upaya menata institusi keuangan di wilayah yang dikuasainya. Pada 04 Maret 1942, Pemerintah pendudukan Jepang di Jawa selanjutnya mengumumkan bahwa likuidasi DJB dan delapan bank lainnya. Selanjutnya uang kertas DJB dan alat pembayaran Hindia Belanda lainnya akan dipertukarkan secara adil dengan ketentuan yang akan ditetapkan. Di antara bank-bank Belanda di Jawa, DJB merupakan bank terbesar dan diharapkan akan memberikan perpindahan aset dengan nilai besar kepada pemerintah pendudukan Jepang melalui kebijakan likuidasi. DJB merupakan pemasok uang utama di Jawa, tercatat aset-aset DJB termasuk pinjaman-pinjaman dalam jumlah besar kepada pemerintah dan usaha-usaha swasta. DJB juga memiliki kewajiban dalam cadangan emas pinjaman pemerintah dan rekening lainnya di kantor cabang yang berlokasi di luar Jawa serta pada uang yang dikeluarkannya. Penyitaan aset-aset bank-bank terbanyak dilakukan di Jawa  mengingat kegiatan dan pusat-pusat bisnis berbagai perusahaan Belanda  dan asing terkonsentrasi di pulau tersebut, terutama di Batavia dan Surabaya. Selain di Jawa, pemerintah pendudukan Jepang juga menyita berbagai aset bank-bank asing di Sumatera yang keberadaannya terkonsentrasi di Medan, Padang, dan Palembang. Selain kebijakan terkait likuidasi bank asing, di bidang perbankan,  pemerintah pendudukan Jepang juga memutuskan untuk mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) yang berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk menggantikan DJB. Dalam pelaksanaannya, kebijakan likuidasi bank-bank asing dilakukan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG). NKG sebagai bank sirkulasi masa pendudukan Jepang mempunyai fungsi yang sebelumnya dipegang oleh DJB. Kebijakan pemerintah pendudukanJepang di bidang moneter berhasil mengumpulkan uang tunai dalam bentuk pajak dan biaya dari ekonomi daerah serta mampu mencairkan biaya administrasi yang ada. Dalam melebarkan usahanya, NKG cabang Jawa memberikan pinjaman pada sektor manufaktur dan pertambangan. Selain di Jawa, pinjaman NKG juga disalurkan untuk perluasan  bisnis di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak NKG menggantikan peran DJB, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan uang dengan tetap mengakui uang Hindia Belanda yang telah beredar di masyarakat. Kedua uang tersebut memiliki nilai yang setara. Upaya untuk memperbaiki perekonomian Indonesia dari sektor  moneter diawali dengan sidang Dewan Menteri Republik Indonesia pada 19 September 1945 untuk mendirikan bank sirkulasi atau bank umum itu sendiri. Pada rapat tersebut, Presiden Soekarno memutuskan untuk mendirikan sebuah Bank Negara Indonesia (BNI). Pemerintah RI akhirnya berhasil merealisasikan pembentukan BNI yang diresmikan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta pada 17 Agustus 1946. Tugas penting yang dipikul BNI sebagai bank sirkulasi adalah mencetak dan mengedarkan uang ke seluruh wilayah Indonesia. Pada masa revolusi, kantor-kantor perwakilan BNI di sejumlah daerah mengawali kegiatan operasionalnya dengan menggunakan gedung-gedung bekas kantor DJB, Situasi revolusi sangat mempengaruhi keberadaan dan fungsi BNI sebagai bank sirkulasi. Perkembangan politik dan militer dalam sengketa Indonesia Belanda sangat mempengaruhi kinerja dan pelaksanaan tugas dan fungsi BNI, terutama dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan BNI sebagai bank sirkulasi yang bertugas dalam pencetakan dan pengedaran ORI (Oeang Republik Indonesia) di wilayah kedaulatan Indonesia.
Bab III : Konferensi Meja Bundar (KMB)
Tidak seperti perundingan dan perjanjian antara Belanda dan Indonesia sebelumnya, KMB membutuhkan waktu lebih lama bagi pihak Belanda maupun Indonesia. Untuk dapat melestarikan pengaruh Belanda atas perekonomian Indonesia, delegasi Belanda melalui KMB juga meminta agar kontrol moneter tetap dalam genggamannya. Setelah melewati tahun-tahun yang sangat sulit, perundingan yang sangat menentukan dalam upaya memperoleh pengakuan kedaulatan, yakni KMB yang diselenggarakan di Den Haag. Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah diplomasi bangsa Indonesia. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta yang beranggotakan 11 anggota delegasi lainnya. Dapat dikatakan masalah hutang piutang yang berkaitan langsung dengan syarat pengakuan kedaulatan menjadi titik krusial dan paling menyita perhatian, pihak Indonesia menghendaki bahwa kewajiban  membayar hutang yang muncul setelah 1942 hanya bisa mereka akui jika hutang tersebut dibuat untuk kepentingan Indonesia. Selain masalah hutang piutang, masalah krusial lain yang sulit ditemukan solusi bagi kedua belah pihak adalah konsesi perusahaan perusahaan Belanda yang menguasai perekonomian Indonesia. Apa yang diinginkan Pemerintah Belanda melalui KMB merupakan  hal yang sebaliknya diinginkan oleh Pemerintah Indonesia. Sementara itu, para pemimpin dan anggota delegasi memegang amanah dari masingmasing pemerintah agar tujuan dan target dari Perundingan KMB dapat tercapai. Dengan segala pertimbangan dan juga sebagai dampak dari intervensi AS pada 24 Oktober 1949 delegasi RIS bersedia mengambil alih hutang Belanda sesuai dengan angka terakhir yang diajukan pihak Belanda yakni sebesar 4,3 miliar gulden. Sebuah angka yang sangat memberatkan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia namun juga menjadi sebuah opsi yang dipilih sebagai negosiasi untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tidak berhenti hingga pada titik itu, jumlah hutang yang harus  dibayar memiliki konsekuensi lain karena Pemerintah RIS harus membayarnya dalam mata uang asing yakni dolar dengan cara membentuk bank sentral baru. Pihak Belanda sendiri dalam sejumlah perundingan selama KMB berhasil menjadikan DJB menjadi sebagai Bank Sentral dan hal tersebut pada akhirnya diterima oleh delegasi Indonesia yang semula menginginkan BNI 46. Terlepas dari pertimbangan politik dan keinginan Belanda untuk tetap mendominasi perekonomian Indonesia, DJB dipandang telah berkontribusi dalam perkembangan perekonomian pada masa kolonial dengan cabang yang telah tersebar di sejumlah wilayah di Hindia Belanda. selain itu DJB merupakan bank sirkulasi pertama di Asia yang menjadi contoh pembentukan bank-bank sirkulasi lainnya. Bagaimanapun juga keputusan dalam menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi bagi RIS merupakan salah satu bentuk kekalahan diplomasi Indonesia selain ketidaksempurnaan pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia. Secara keseluruhan, delegasi Belanda dan Indonesia memutuskan sejumlah kesepakatan dalam bidang Ekonomi Keuangan atau FinancialEconomic Agreement yakni kesediaan Indonesia mengizinkan perusahaanperusahaan Belanda untuk beroperasi Kembali seperti sebelum perang termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya. KMB yang diselenggarakan sejak 23 Agustus 1949 berakhir pada 02 November 1949 dengan kesepakatan sejumlah hal penting yang tidak bisa dicapai antara pihak Indonesia dan Belanda dalam perundingan dan perjanjian sebelumnya. Kesepakatan-kesepakatan tersebut antara lain:
- Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara merdeka dan berdaulat,
- Status Keresidenan Irian Barat akan diselesaikan kemudian dalam waktu satu tahun setelah pengakuan kedaulatan,
- Sebuah Uni Indonesia-Belanda akan dibentuk berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela dan setara,
- RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan Belanda
- RIS bersedia membayar semua hutang Belanda yang terhitung sejak 1942.
Piagam Persetujuan Konstitusi RIS antara Republik Indonesia dan BFO ditandatangani pada 29 Oktober 1949 sebagai salah satu bentuk komitmen pihak Indonesia dalam menjalankan sejumlah keputusan yang sudah disepakati dalam KMB. Setelahnya Upacara penandatanganan akta penyerahan kedaulatan dilakukan baik di Indonesia maupun di Belanda pada 27 Desember 1949. Pada saat KMB berlangsung pihak Belanda memiliki DJB, sedangkan pihak Republik Indonesia mempunyai BNI. Masing-masing mengusung bank miliknya untuk diperjuangkan di meja perundingan KMB untuk menjadi bank sirkulasi di wilayah yang diperebutkan. Hingga perundingan KMB berlangsung di wilayah Indonesia terjadi  dualisme bank sirkulasi. Kesepakatan KMB membawa perubahan status baik bagi BNI maupun DJB, yang sekaligus mengakhiri berlangsungnya dualisme bank sirkulasi. Sesuai dengan kesepakatan KMB, DJB ditetapkan sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Dengan dipilihnya DJB sebagai bank sirkulasi bagi RIS, maka fungsi BNI sebagai bank sirkulasi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 undang-undang pendiriannya menjadi tidak efektif. Setelah Persetujuan KMB ditandatangani dan tidak lagi bertugas mencetak dan mengedarkan uang di wilayah Indonesia, BNI beralih menjadi bank umum yang merupakan salah satu tugas dalam pasal tersebut.
Bab IV : Kesepakatan Financieel Economische Overeenkomst (FINEC) Indonesia -Belanda
Salah satu kesepakatan penting yang merugikan pihak RIS dalam Perjanjian KMB adalah Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian yang terdiri dari lima bagian. Dari lima bagian tersebut, masalah hutang piutang menjadi bagian yang paling krusial dan menjadi salah satu sebab Perundingan KMB sempat mengalami kebuntuan karena delegasi Belanda sama sekali tidak memberikan konsesi apapun di bidang keuangan dan ekonomi. Hutang dalam jumlah besar yang harus dibayar sebesar Rp 4,765 milyar oleh Pemerintah RIS menurut delegasi Belanda mengacu pada kenyataan bahwa Indonesia adalah pewaris Hindia Belanda. Bagi Pemerintah Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan selama masa revolusi membuat sumber pendapatan negara sangat terbatas terlebih saat NICA menerapkan blokade ekonomi. Pemerintah RI mengalami defisit anggaran pada yang sangat parah. Melalui Pasal 14 terdapat kesepakatan bahwa baik Pemerintah Belanda maupun RIS akan memiliki satu buah bank sirkulasi sekaligus menetapkan nilai tukarnya. Pemerintah Belanda memiliki kepentingan dalam memastikan pembayaran hutang yang akan ditanggung oleh Pemerintah RIS sehingga bersikeras agar DJB menjadi Bank Sentral yang akan mengatur sistem moneter dalam Pemerintahan RIS. Biaya besar yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah RIS merupakan  sebuah konsekuensi untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar yakni pengakuan dunia internasional terutama Pemerintah Belanda  terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun demikian. pemerintah dan rakyat Indonesia menyadari bahwa hasil Perundingan KMB terlalu menguntungkan pihak Belanda. Kembalinya dominasi Belanda dalam perekonomian Indonesia juga tampak sangat jelas. Beban perekonomian Indonesia bertambah berat bukan hanya karena kembalinya usaha-usaha Belanda, melainkan juga terkait berbagai persoalan domestik yang menyita banyak perhatian dan seumberdaya keuangan. Indonesia memang kemudian mendapatkan pengakuan kedaulatan  dari Belanda, namun situasi perekonomian yang dihadapi oleh Pemerintah RIS setelah penandatanganan Perjanjian KMB justru terlihat kian berat terutama bagi sejumlah kementerian yang bersentuhan langsung dengan masalah-masalah perbaikan ekonomi rakyat.
Bab V : Nasionalisasi De Javasche Bank
UUD 1945 mengamanatkan bahwa pelaku ekonomi nasional terdiri dari tiga bentuk usaha yakni swasta, BUMN dan koperasi. Â Hal tersebut bermakna bahwa konstitusi RI secara langsung mengumumkan bahwa di Indonesia terdapat perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara atau Badan Usaha Milik Negara selain keberadaan usaha swasta dan koperasi. Keinginan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda tidak terlepas dari ketidakpuasanatas jaminan kelangsungan berbagai bisnis perusahaan-perusahaan Belanda yang masih akan mendominasi perekonomian Indonesia. Berbagai upaya pengambilalihan aset-aset asing melalui nasionalisasi tidak terlepas dari adanya pergerakan kaum buruh yang dalam keseharian terlibat langsung dalam kegiatan produksi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Di samping bekerja untuk perusahaan, kaum buruh memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang seringkali dikendalikan oleh serikatserikat pekerja dimana mereka bernaung. Melalui serikat-serikat pekerja tersebut mereka melancarkan berbagai protes dan demonstrasi untuk memperjuangkan kepentingan dan tuntutannya. Desakan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda juga tidak terlepas dari ketidakpedulian para pemilik modal asing yang umumnya berstatus warga negara Belanda. Mereka cenderung lebih memikirkan keuntungan dan kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja. Kondisi ini yang kemudian juga memunculkan desakan agar Pemerintah RI menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda secara bertahap sekaligus mendorong munculnya pengusaha-pengusaha lokal.
Di sisi lain nasionalisasi juga tidak semata mata pengambilalihan aset-aset, tetapi juga patut difikirkan mengenai masa depan pengelolaan perusahaan-perusahaan asing tersebut,  Mr. Sjafruddin Prawiranegara berpandangan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda sebaiknya disikapi dengan bijaksana. Ia cenderung untuk terlebih dahulu mempersiapkan sumber daya manusia sebelum bangsa ini mengambil alih perusahaan-perusahaan asing melalui proses nasionalisasi. Dari berbagai perusahaan dan institusi asing terutama milik Belanda, keberadaan DJB sebagai bank sirkulasi RIS  banyak mendapat sorotan publik. Gagasan untuk menasionalisasi DJB terlontar dalam Muktamar Partai Masyumi yang diselenggarakan pada Bulan Desember 1949 sebagai reaksi atas keputusan KMB terkait penunjukkan bank sirkulasi RIS. Di tengah berkembangnya dua pandangan berbeda terhadap masalah nasionalisasi DJB, Pemerintahan mengambil Tindakan nyata untuk memulai proses nasionalisasi dengan membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Panitia Nasionalisasi kemudian mengirimkan surat pertama kepada Direksi DJB yang menjelaskan bahwa akan sangat menghargai jika DJB. dapat bekerja sama dalam melaksanakan tugas Panitia Nasionalisasi. Komunikasi awal tersebut dilanjutkan dengan sejumlah perundingan antara Panitia Nasionalisasi dengan Direksi DJB. Menteri Keuangan Jusuf Wibisono mengangkat  Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden DJB pada 14 Juli 1951 melalui Keputusan Presiden RI No. 123 Tanggal 12 Juli 1951.  Mr. Sjafruddin Prawiranegarasecara resmi mulai menjalankan tugasnya sebagai Presiden DJB pada 15 Juli 1951. Selama menjabat sebagai Presiden DJB dan kemudian sebagai  Gubernur Bank Indonesia, Sjafruddin berupaya meletakkan pondasi  kemandirian bank sentral dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Ia menyatakan pentingnya pemisahan bank sentral dari pemerintah agar bank sentral dapat memiliki wewenang penuh untuk bekerja secara otonom dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimanatkan oleh undang-undang. Susunan Direksi DJB setelah ditunjuknya Sjafruddin sebagai Presiden DJB sebagai berikut: