Seorang bijak bestari pernah memberikan nasihat: "Setialah dalam perkara kecil, maka kepadamu akan diberikan perkara-perkara yang lebih besar." Dalam isi nasihat ini, konsistensi dan integritas seorang pemimpin diuji. Kepercayaan yang lebih besar akan diberikan jikalau pemimpin berlaku setia dan kata-katanya bisa dipercaya. Sebaliknya, kepercayaan akan diambil jika yang terlihat adalah ketidakkonsitenan, ketidaksetiaan, dan kebohongan.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, apabila seorang pemimpin melayani dengan integritas, maka ia akan sungguh-sungguh berkarya untuk mewujudkan setiap janji yang terucap (semasa kampanye). Ia konsisten dalam penegakkan hukum dan aturan; tidak kongkalingkong untuk mendapatkan untung; atau sekadar berjuang untuk membangun dinasti politik bagi keluarga dan kelompok sendiri.
Pemimpin berintegritas selalu menempatkan kepentingan, kesejahteraan, dan keselamatan masyarakat yang dipimpinnya di atas segala-galanya. Dasar dan muara dari setiap kebijakan publik yang diambilnya adalah dalam rangka memanusiakan manusia. Oleh karena itu, pemimpin sejati mulai dengan membangun manusia. Kalau pun ada jalan, jembatan, atau pasar yang dibangun, semua itu dalam rangka membangun manusia.Â
Pendekatann pembangunan pun bersifat humanis, bukan politis. Sebagai contoh, dalam mendekati masalah Papua misalnya, Gus Dur begitu humanis. Ia tidak main tangkap, apalagi main tembak. Ia tidak melakukan politik tipu-tipu. Alhasil, Gus Dur dikenang dan dicintai orang Papua, walaupun ia presiden beretnis Jawa. Tidak ada proyek pembangunan jalan yang panjang di Papua di masanya, tetapi suara hati orang Papua sungguh-sungguh didengarnya.
Jadi, yang terpenting bagi seorang pemimpin bukanlah ia harus mewariskan tugu atau artefak dan bangunan-bangunan megah. Semua itu bagus-bagus saja untuk dilakukan. Akan tetapi, yang lebih penting adalah ia mewariskan virtu atau kebajikan dan keteladanan.
Seorang pemimpin yang memimpin dengan kebajikan dan keteladanan akan menghasilkan hal-hal yang jauh lebih bernilai dari sekadar pembangunan fisik. Ia akan membangun manusia dengan pengalaman-pengalaman istimewa; pengalaman di mana orang berjumpa dengan virtu dalam keteladanan; bersentuhan dengan nilai-nilai hidup yang mencerahkan dan memanusiakan. Hal ini tentu ikut tergambar dalam pembangunan fisik yang dilakukan. Misalnya, saat membangun jalan dan jembatan, proyek-proyek tersebut dikerjakan sampai tuntas sesuai proposal yang diajukan. Laporannya pun bisa diakses publik secara transparan dan akuntabel. Di situlah publik atau masyarakat mengenal pemimpin berintegritas, yang sungguh-sungguh melayani masyarakat dengan virtu.
Suatu saat ketika pemimpin tersebut telah tiada, kearifan dan keteladanannya terus dikenang. Bukan sebaliknya, yang diingat malah kekejaman atau korupsinya. Bayangkan, anak-cucu kita kelak akan terus menanggung malu dalam bayang-bayang kepemimpinan orang tua atau kakeknya yang tak becus secara etik-moral. Apalagi di era digital sekarang ini. Kebaikan atau keburukan seorang pemimpin akan tercetak abadi. Tinggal klik, dan viral!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H