Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepemimimpinan, Keteladanan, dan Warisan

5 November 2020   12:00 Diperbarui: 5 November 2020   12:07 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kepemimpinan adalah sebuah fungsi. Kepemimpinan dilukiskan sebagai kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Kepemimpinan ada untuk menjawab tantangan hidup bersama. Pemimpin mengerjakan mimpi yang dirajut bersama sebagai karya. Oleh karena itu, seorang pemimpin selalu dikenal dan dikenang melalui kerja-kerja yang bernilai bagi komunitas yang dipimpinnya.

Di negara dan bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta, misalnya, dikenal sebagai Proklamator. Soekarno diterima sebagai penggali Pancasila. Hatta dikenal sebagai seorang demokrat sejati dan bapak koperasi. Artinya, ada sesuatu yang bernilai yang mereka wariskan kepada generasi-generasi setelah mereka, terlepas dari adanya kekurangan mereka juga.

Demikian halnya dengan Johanes Leimena. Tokoh Jong Ambon di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia ini dikenal sebagai pribadi yang rustig/tenang dan sederhana.  Ialah yang merancang dan meletakkan dasar kesehatan masyarakat di Indonesia. Hari ini kita bisa berobat di Puskesmas sampai ke Rumah Sakit Daerah atau Nasional, itu merupakan hasil pergumulannya menjawab persoalan-persoalan kesehatan masyarakat.

Buah Kepemimpinan

Buah tangan seorang pemimpin yang sungguh-sungguh bergumul dengan persoalan dasar kemanusiaan akan selalu dikenang. Nama mereka akan abadi. Sekalipun sudah tiada, tetapi nama baik mereka terus terjaga. Mengapa? Sebab bukan artefak yang mereka wariskan, tetapi keteladanan.

Seorang pemimpin tentu bukan manusia sempurna. Pemimpin  juga orang biasa, sama seperti yang lain. Bahkan, seorang pemimpin dapat  pula menjadi sosok yang begitu bengis. Sebutlah Hitler di Jerman, atau Soeharto di Indonesia di masa Orde Baru. Kedua orang ini tentu dikenang berdasarkan pengalaman masing-masing orang yang mengingat mereka. Ada yang memuja-muji mereka sebagai sosok-sosok nasionalis atau mengingat mereka sebagai bapak pembangunan. Namun, ada juga orang yang mengenang mereka sebagai sosok pemimpin bengis.

Bagi saya, tanpa menyangkal hal-hal baik yang sudah dikerjakan oleh mereka bagi negaranya masing-masing, Hitler dan Soeharto adalah tipikal pemimpin bengis. Mengapa? Ukuran kepemimpinan bagi saya adalah kemanusiaan. Seorang pemimpin yang demi ambisi nasionalisme dan pembangunan mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan, dia adalah pribadi yang bengis. Apalagi dengan sadar memberi perintah menculik, menembak, sampai membantai manusia secara masal. Hal demikian terjadi di era Hitler di Jerman dan Soeharto di Indonesia.

Jadi, apa pun yang dibuat oleh seorang pemimpin, baik atau pun buruk, itulah yang akan diwariskannya. Tentu saja, yang diharapkan adalah sosok pemimpin mewariskan teladan baik, sebab pemimpin adalah pribadi yang perbuatannya diikuti dan ditiru oleh orang-orang yang dipimpinnya. Leadership seorang pemimpin sangat berpengaruh, sehingga ada yang mendefinisikan pemimpin sebagai sosok yang memberi pengaruh.

Karena itu, kata dan perbuatan seorang pemimpin tidak boleh bertentangan. Misalnya, ketika bupati memberi ijin pembukaan hutan untuk penanaman cengkih atau pala di kawasan hutan adat, seperti di kabupaten SBB, maka lahan hutan itu harus ditanami cengkih dan pala. Bukan ijin tersebut dijadikan legitimasi untuk mencuri secara legal kayu-kayu di hutan adat. Setelah itu, masyarakat menanggung derita akibat lahan hutan yang dibabat.  Perbuatan seperti ini menjadi cerminan ketidakkonsitenan dan pembohongan. Ini contoh nyata pemimpin yang tidak berintegritas. 

Pemimpin publik yang memimpin tanpa integritas akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang dipimpin.  Bukan kepentingan rakyat yang mereka prioritaskan, tetapi kepentingan dan kesenangan diri, kelompok sendiri, dan pemilik modal yang menguntungkannya. Kepemimpinan seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakmajuan dan penderitaan di pihak masyarakat.

Nasihat dan Teladan Pemimpin Bijak

Seorang bijak bestari pernah memberikan nasihat: "Setialah dalam perkara kecil, maka kepadamu akan diberikan perkara-perkara yang lebih besar." Dalam isi nasihat ini, konsistensi dan integritas seorang pemimpin diuji. Kepercayaan yang lebih besar akan diberikan jikalau pemimpin berlaku setia dan kata-katanya bisa dipercaya. Sebaliknya, kepercayaan akan diambil jika yang terlihat adalah ketidakkonsitenan, ketidaksetiaan, dan kebohongan.

Dalam kehidupan praktis sehari-hari, apabila seorang pemimpin melayani dengan integritas, maka ia akan sungguh-sungguh berkarya untuk mewujudkan setiap janji yang terucap (semasa kampanye). Ia konsisten dalam penegakkan hukum dan aturan; tidak kongkalingkong untuk mendapatkan untung; atau sekadar berjuang untuk membangun dinasti politik bagi keluarga dan kelompok sendiri.

Pemimpin berintegritas selalu menempatkan kepentingan, kesejahteraan, dan keselamatan masyarakat yang dipimpinnya di atas segala-galanya. Dasar dan muara dari setiap kebijakan publik yang diambilnya adalah dalam rangka memanusiakan manusia. Oleh karena itu, pemimpin sejati mulai dengan membangun manusia. Kalau pun ada jalan, jembatan, atau pasar yang dibangun, semua itu dalam rangka membangun manusia. 

Pendekatann pembangunan pun bersifat humanis, bukan politis. Sebagai contoh, dalam mendekati masalah Papua misalnya, Gus Dur begitu humanis. Ia tidak main tangkap, apalagi main tembak. Ia tidak melakukan politik tipu-tipu. Alhasil, Gus Dur dikenang dan dicintai orang Papua, walaupun ia presiden beretnis Jawa. Tidak ada proyek pembangunan jalan yang panjang di Papua di masanya, tetapi suara hati orang Papua sungguh-sungguh didengarnya.

Jadi, yang terpenting bagi seorang pemimpin bukanlah ia harus mewariskan tugu atau artefak dan bangunan-bangunan megah. Semua itu bagus-bagus saja untuk dilakukan. Akan tetapi, yang lebih penting adalah ia mewariskan virtu atau kebajikan dan keteladanan.

Seorang pemimpin yang memimpin dengan kebajikan dan keteladanan akan menghasilkan hal-hal yang jauh lebih bernilai dari sekadar pembangunan fisik. Ia akan membangun manusia dengan pengalaman-pengalaman istimewa; pengalaman di mana orang berjumpa dengan virtu dalam keteladanan; bersentuhan dengan nilai-nilai hidup yang mencerahkan dan memanusiakan. Hal ini tentu ikut tergambar dalam pembangunan fisik yang dilakukan. Misalnya, saat membangun jalan dan jembatan, proyek-proyek tersebut dikerjakan sampai tuntas sesuai proposal yang diajukan. Laporannya pun bisa diakses publik secara transparan dan akuntabel. Di situlah publik atau masyarakat mengenal pemimpin berintegritas, yang sungguh-sungguh melayani masyarakat dengan virtu.

Suatu saat ketika pemimpin tersebut telah tiada, kearifan dan keteladanannya terus dikenang. Bukan sebaliknya, yang diingat malah kekejaman atau korupsinya. Bayangkan, anak-cucu kita kelak akan terus menanggung malu dalam bayang-bayang kepemimpinan orang tua atau kakeknya yang tak becus secara etik-moral. Apalagi di era digital sekarang ini. Kebaikan atau keburukan seorang pemimpin akan tercetak abadi. Tinggal klik, dan viral!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun