Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papuaku Sayang, Papuaku Malang

3 November 2020   10:25 Diperbarui: 3 November 2020   10:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Papua itu surga yang jatuh ke bumi. Alamnya kaya, penduduknya polos dan ramah. Namun, ketidakadilan dan kemiskinan terus terjadi di sana. Narasi-narasi kekerasan sambung-menyambung.

Komnas HAM pada 2 November 2020 merilis hasil investigasi di Hitadipa. Pdt. Yeremia Zanambani mati terbunuh oleh oknum tentara. Nyawanya melayang setelah disiksa. Ia kehabisan darah di kandang babi sehabis ditembak dan dianiaya.

Penduduk Hitadipa panik. Mereka lari ke hutan-hutan. Kehadiran tentara di sana rupanya tidak memberikan rasa aman, apalagi keselamatan. 

Anak-anak Hitadipa tidak bisa bersekolah karena mereka semua dihinggapi rasa takut dan trauma. Ironisnya, gedung sekolah SD dan SMP YPPG yang ada di komplek tanah gereja, justru dipakai sebagai Pos Koramil Persiapan Hitadipa. 

Apa sesungguhnya yang dikejar aparat dan pemerintah Indonesia di Papua? Mengapa pendekatan keamanan yang tidak aman bagi rakyat Papua yang terus dipakai pemerintah Indonesia di Papua? 

Papua Darurat Pelanggaran HAM

Peristiwa yang terjadi di Hitadipa, terkhusus pembunuhan Pdt. Yeremia yang dilakukan oleh oknum aparat TNI menjadi tanda Papua darurat pelanggaran HAM. 

Seorang pendeta dalam konteks Papua memiliki status sosial tinggi. Pendeta merupakan sosok yang berpengaruh dan sangat dihormati oleh masyarakat. 

Dalam tangisannya, istri alm.Pdt. Yeremia berkata, "hamba Tuhan saja kalian bunuh". Kalau hamba Tuhan saja dibunuh, apalagi yang lain? Karena itu, pembunuhan Pdt. Yeremia harus dilihat sebagai sebentuk teror (aparat) negara yang amat bengis. Ketakutan disebarluaskan dengan pembunuhan, kekerasan, dan moncong senjata. 

Alhasil, masyarakat tidak lagi hidup dengan bebas dan aman di tanah mereka sendiri. Orang tua tidak bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan demi masa depan anak-anak mereka. Anak-anak pun tidak bisa bermain dan belajar.

Jadi, pelanggaran HAM di Papua tidak terbatas pada tindakan-tindakan kekerasan dan pembunuhan. Namun, juga pada tertutupnya akses bagi masyarakat asli Papua seperti di Hitadipa untuk hidup sebagai manusia. 

Mereka tidak lagi merdeka untuk mencari nafka; tidak merdeka untuk belajar. Mereka tidak merdeka memanfaatkan dan menikmati kekayaan alam yang Tuhan karuniakan di tanah mereka.

Papuaku Sayang, Papuaku Malang

Tuhan mengaruniakan Papua tanah penuh emas dan kekayaan alam lainnya. Intan Jaya, daerah di mana Hitadipa berada menjadi incaran investor untuk eksplorasi. Apakah karena itu penduduk di sana diusir melalui rangkaian kekerasan yang dilakukan tentara? 

Sungguh sayang Papuaku malang. Papua harus menanggung derita akibat kerakusan sesamanya yang sering berkata: "Tidak ada Indonesia tanpa Papua." Atau, "Papua adalah Kita, Papua adalah Indonesia."

Mendekati Papua tidak bisa dengan jargon dan kata-kata kosong. Apalagi, dengan kebohongan dan kekerasan. Papua butuh kejujuran dan cinta.

Pendekatan keamanan tidak akan pernah mendatangkan damai. Teror dan pembunuhan seperti yang dilakukan terhadap Pdt. Yeremia justru akan melahirkan kecaman dan simpati untuk Papua. 

Sekian lama manusia Papua terus menjadi korban. Mereka memiliki alam yang kaya namun terus hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Papua malangku sungguh patut dan harus disayang. 

Semoga Presiden Jokowi jujur, terbuka, dan bersungguh-sungguh memutuskan rantai kekerasan di Papua, dan menghukum para pelaku dan pemberi perintah pembunuhan di Hitadipa. 

Pemerintah dan investor juga harus sadar bahwa manusia Papua lebih berharga dari emas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun