Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Partai Politik Perusak Demokrasi

30 Oktober 2020   23:56 Diperbarui: 31 Oktober 2020   00:01 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari institusi dan instrumen demokrasi. Partai politik (Parpol) adalah salah satu institusi dan instrumen demokrasi.

Partai-partai politiklah yang berlomba dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilu dan Pilkada merupakan instrumen politik demokrasi di mana warga negara dapat berpartisipasi menyatakan hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara.

Asas Pemilu dan Pilkada adalah langsung, umum, bebas, rahasia (Luber), jujur dan adil  (Jurdil). Asas Jurdil relatif baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 

Di masa Orde Baru,  kendati asas Pemilunya Luber, masyarakat sudah  pasti tahu siapa yang akan terpilih, walaupun Pemilu sendiri belum dilakukan. Pemilu di masa Orba hanyalah stempel untuk melanggengkan totalitarianisme rezim Soeharto.

Dari latar belakang itu, values Jurdil ditambahkan dan ditekankan di masa Reformasi. Pengalaman membuktikan bahwa demokrasi tidak akan tumbuh tanpa nilai-nilai kebajikan. Kejujuran dan keadilan adalah virtu yang secara moral mampu menjaga legitimasi moral-yuridis hasil Pemilu atau Pilkada, dan sekaligus menjaga demokrasi itu sendiri.

Setelah 22 tahun usia Reformasi, dan beberapa kali melakukan Pemilu dan Pilkada berdasarkan asas-asas Pemilu-Pilkada yang Luber dan Jurdil, rupa-rupanya kita belum mengalami kemajuan demokrasi secara substantif. 

Hal itu dapat dilihat dari kinerja parlemen maupun pemerintahan eksekutif untuk mendorong tumbuhnya keadilan dan kesejahteraan rakyat bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya pembangunan di lokasi-lokasi tertentu seperti di pulau Jawa.

Selain itu, kita masih menjumpai maraknya kasus KKN yang terjadi di berbagai instansi dan menyebar seiring dengan otonomi dan pemekaran ke berbagai daerah. Korupsi di daerah-daerah tentu akan berdampak langsung pada pembangunan di daerah.

Oleh sebab itu, di daerah-daerah yang sudah mengalami pemekaran lebih dari sepuluh tahun, misalnya, kita belum melihat terjadinya perubahan yang signifikan. Sebagai contoh saja, banyak sekali daerah yang telah dimekarkan di Indonesia Timur tetap menjadi kabupaten-kabupaten yang miskin dan tertinggal. Padahal, alamnya begitu kaya. 

Lalu, ke mana dana-dana pemekaran? Pemerintah Daerahnya melakukan apa saja selama ini? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu wajar untuk diajukan, sebab elit-elit lokal begitu getol memperjuangkan pemekaran, tetapi setelah mekar, kesejahteraan rakyat yang dijanjikan tak kunjung bermekaran. Hanya elit-elitnya saja yang menikmati, sementara rakyat jelata tetap menjadi penonton dan objek politik semata.

Ironi Parpol: Miskin Moral Politik

Tidak tumbuhnya demokrasi secara substantif dapat dilacak sampai ke hulu. Hulunya ada di mana? Hulunya ada di partai-partai politik. Parpollah yang menawarkan kadernya untuk dipilih dan membawa mereka ke istana, balai kota, atau pun ke rumah-rumah parlemen, baik di daerah maupun di pusat.

Akan tetapi, kader-kader yang ditawarkan dan diutus itu belum tentu kader terbaik secara intelektual dan moral. Apa pasal?

Sistem perekrutan dan pembinaan kader yang berkelanjutan belum dilakukan secara profesional dan transparan. Penentuan calon untuk diusung pun tidak selalu berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan serta mempertimbangkan rekam jejak, tetapi lebih sering terjadi karena kedekatan ataupun jumlah setoran serta memanfaatkan popularitas. 

Itu sebabnya, banyak sekali artis, bahkan ada juga koruptor, yang diturunkan ke dunia politik praktis dan dicalonkan sebagai legislator atau kepala daerah.

Kultur parpol pun masih sangat feodalistik.Tidak sulit untuk merasa dan melihat gaya feodal politisi Parpol. Kultur dan gaya feodal tersebut tentu hanya akan menghasilkan kader-kader partai yang pandai menjilat atasan, dan tidak kritis terhadap praktik-praktik ketidakadilan. 

Kader-kader seperti ini tentu akan sulit mengembangkan belarasa dengan masyarakat. Mereka hanya akan menjadi pencari dan penikmat kuasa. Dalam konteks penegakan hukum, mereka  tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Karena itu, spirit politik dinasti terus dibangun untuk melanggengkan kekuasaan. Pimpinan-pimpinan Parpol adalah raja dan ratu. Raja-ratu itu akan selalu mengedepankan orang yang membuatnya aman dan nyaman. 

Kalau bukan kerabat, maka teman dekat, atau rekan bisnis yang dipersiapkan untuk meneruskan tampuk kekuasaan Parpol. Ukuran itu juga yang akan dipakai dalam menyeleksi kandidat yang akan dimajukan dalam bursa pemilihan. 

Orang-orang yang dimajukan adalah orang-orang yang harus loyal atau taat (buta), yang siap menjadi "petugas partai", bukan pertama-tama pelayan masyarakat.

Lalu, kalau melihat cara-cara Parpol merebut suara masyarakat, kita patut mencemaskan masa depan demokrasi. Politik SARA, politik dinasti, politik suap, dilakukan. Artinya, segala cara dihalalkan untuk berkuasa.

Melihat realitas buram itu, tidak berlebihan kalau disebut bahwa Parpol adalah perusak demokrasi, sebab miskin moral politik.  

Menyelamatkan Demokrasi

Lantas, apa yang harus dilakukan? Tentu, demokrasi harus diselamatkan. Untuk itu, parpol harus ditransformasi. Para pimpinan Parpol harus jujur dan berani melakukan transformasi internal, supaya tidak membawa virus yang merusak demokrasi dan merusak negara.

Kita pun bersyukur bahwa ada pilihan jalur independen dalam Pilkada. Masyarakat harus berani memanfaatkan peluang ini untuk membawa pemimpin yang sungguh-sungguh mau melayani dan memiliki kapasitas serta integritas, kendati sulit. Namun, ini sangat baik untuk membangun daerah dengan jujur dan adil.

Selain itu, masyarakat sendiri harus kritis. Jangan memilih pemimpin hanya karena satu agama, satu suku, satu marga, satu kampung. Apalagi memilih karena diberikan uang.

Pemuda-pemuda yang kritis dan berkompeten serta berkomitmen kuat mengawal jalannya demokrasi juga harus berani menjadi oposisi atau penyeimbang. Jalani proses bersama rakyat melalui lembaga-lembaga yang lebih independen. 

Perkuat masyarakat sipil di daerah-daerah agar Indonesia bisa menjalani demokrasi yang baik dan menyehatkan kehidupan publik. Inilah tanggung-jawab kewarganegaraan kita untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan kota dan negara di mana kita berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun