Hidup berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari institusi dan instrumen demokrasi. Partai politik (Parpol) adalah salah satu institusi dan instrumen demokrasi.
Partai-partai politiklah yang berlomba dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilu dan Pilkada merupakan instrumen politik demokrasi di mana warga negara dapat berpartisipasi menyatakan hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara.
Asas Pemilu dan Pilkada adalah langsung, umum, bebas, rahasia (Luber), jujur dan adil  (Jurdil). Asas Jurdil relatif baru dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.Â
Di masa Orde Baru,  kendati asas Pemilunya Luber, masyarakat sudah  pasti tahu siapa yang akan terpilih, walaupun Pemilu sendiri belum dilakukan. Pemilu di masa Orba hanyalah stempel untuk melanggengkan totalitarianisme rezim Soeharto.
Dari latar belakang itu, values Jurdil ditambahkan dan ditekankan di masa Reformasi. Pengalaman membuktikan bahwa demokrasi tidak akan tumbuh tanpa nilai-nilai kebajikan. Kejujuran dan keadilan adalah virtu yang secara moral mampu menjaga legitimasi moral-yuridis hasil Pemilu atau Pilkada, dan sekaligus menjaga demokrasi itu sendiri.
Setelah 22 tahun usia Reformasi, dan beberapa kali melakukan Pemilu dan Pilkada berdasarkan asas-asas Pemilu-Pilkada yang Luber dan Jurdil, rupa-rupanya kita belum mengalami kemajuan demokrasi secara substantif.Â
Hal itu dapat dilihat dari kinerja parlemen maupun pemerintahan eksekutif untuk mendorong tumbuhnya keadilan dan kesejahteraan rakyat bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya pembangunan di lokasi-lokasi tertentu seperti di pulau Jawa.
Selain itu, kita masih menjumpai maraknya kasus KKN yang terjadi di berbagai instansi dan menyebar seiring dengan otonomi dan pemekaran ke berbagai daerah. Korupsi di daerah-daerah tentu akan berdampak langsung pada pembangunan di daerah.
Oleh sebab itu, di daerah-daerah yang sudah mengalami pemekaran lebih dari sepuluh tahun, misalnya, kita belum melihat terjadinya perubahan yang signifikan. Sebagai contoh saja, banyak sekali daerah yang telah dimekarkan di Indonesia Timur tetap menjadi kabupaten-kabupaten yang miskin dan tertinggal. Padahal, alamnya begitu kaya.Â
Lalu, ke mana dana-dana pemekaran? Pemerintah Daerahnya melakukan apa saja selama ini? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu wajar untuk diajukan, sebab elit-elit lokal begitu getol memperjuangkan pemekaran, tetapi setelah mekar, kesejahteraan rakyat yang dijanjikan tak kunjung bermekaran. Hanya elit-elitnya saja yang menikmati, sementara rakyat jelata tetap menjadi penonton dan objek politik semata.
Ironi Parpol: Miskin Moral Politik