Pengantar Diskusi
Tulisan ini di landasi oleh keresahan penulis pada kondisi pandemik yang telah menelan banyak korban jiwa di Indonesia bahkan di dunia saat ini. Korban berjatuhan akan terus bertambah tanpa memandang usia, jenis kelamin, asal negara, suku.
Kondisi ini utamanya dikarenakan proses penularan yang belum bisa di hentikan bahkan mustahil untuk dihentikan. Kondisi yang kurang menguntungkan seperti ini akan terus berlangsung selama proses pencarian obat penawar dalam bentuk apapun belum berhasil ditemukan.
Kondisi ini tentunya membawa kita pada situasi yang sangat tidak mengenakkan. Kita berada pada kondisi ketidakpastian, kekhawatiran dan keresahan tanpa akhir. Bagaimana tidak? Tidak semua orang siap atau tidak siap dihadapkan pada resiko  kematian yang cepat yang mampu diakibatkan virus corona.
Penulis teringat petuah orang tua dulu yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Dalam kondisi melawan penyakit yang tidak bisa disembuhkan dia berkata, " we are against the weight of science", katanya. Sebuah ungkapan sederhana tapi penuh
makna.
Beliau tidak menjelaskan apapun terkait makna dibalik kalimat itu. Mungkin dianggap sebagai berguman saja, Tetapi kalimat ini terus penulis renungkan hingga saat ini meskipun beliau sudah lama tiada.
Sependek pemahaman yang penulis mengerti kira-kira bermakna: saat ini, "bahkan ilmu pengetahuan saat ini sekalipun belum dapat dijadikan penompang kehidupan".
Lebih lanjut lagi, "ilmu pengetahuan dan teknologi yang katanya sudah maju sekalipun masih mengambil posisi bersebrangan dengan keinginan dan harapan umat manusia hari ini Hal ini tentunya disebabkan karena science dan teknologi belum bisa hadir menjadi solusi atas keresahan besar yang melanda.
Lantas bagaimana kita akan bertahan hidup dan menghidupi kehidupan? .
Dalam dunia pendakian gunung yang pernah digeluti penulis, sebuah jargon yang cocok untuk menggambarkan kondisi ini adalah "survival to the fittest!". Jargon ini sangat relevan untuk menggambarkan kondisi pandemik ini.
"Survival to the fittest" biasanya digunakan dalam pendakian gunung-gunung es bersalju, bila terjadi kecelakaan atau persoalan dalam pendakian maka yang paling kuat dan paling sehat adalah orang yang paling terakhir mati bila tidak dijumpai pertolongan. Meskipun pada akhirnya semua orang akan mati Lagian Manusia pun akhirnya akan mati juga pada akhirnya . Bisa disebabkan oleh apa saja.
Apakah hanya dengan berserah pada seleksi alam seperti yang penulis sampaikan pada paragraf sebelumnya cukup menjadi jawaban yang bisa diterima semua pihak? Herd immunity nampaknya dilandasi oleh semangat dan filosofi proses seleksi alam seperti ini.
Dengan proses yang alami, semua orang pada akhirnya pada suatu saat tertentu akan terinfeksi virus bila kita proyeksikan pada waktu yang panjang. Kondisi tertular virus akan menyebabkan proses seleksi alam berjalan. Bagi yang kuat daya tahan tubuhnya akan mampu beradaptasi dan tetap hidup, demikian sebaliknya.
Rasanya tak perlu pandai bila hanya bisa hadir dengan model jawaban hanya menyerahkan segala urusan pada seleksi alam belaka.
Manusia mahluk berakal yang akan terus dan harus berusaha menjawab tantangan jamannya masing-masing. Penggunaan pikiran secara baik akan menuntun pada penciptaan-penciptaan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan sebagaimana kodrat yang semestinya dari hakekat manusia itu sendiri.
Manusia sudah ditakdirkan untuk tumbuh dan berkembang. Adaptasi dan proses mencari solusi sudah menjadi sofware yang selama ini melekat pada diri setiap orang.
Narasi yang sama
Lirik lagu seniman legendaris Iwan Fals sering teringat. syair "seruan lagu setuju!"Â ibarat suara "anjing menggonggong yang serentak diikuti oleh gonggongan anjing lainnya". Hal ini dengan mudah dapat dilihat pada semua saluran media yang ada.
Narasi yang sama bernada pesimisme dan ketidakberdayaan yang dikumandangkan setiap hari. Pernyaataan, pendapat, arahan yang saling tumpang tindih di pertontonkan, diperdebatkan bila terlalu lama bisa merobek banyak sendi kehidupan.
Aturan mengatur ranah publik bukan ranah privat
Sejatinya, dalam alam demokrasi, peraturan atau aturan bermasyarakat dipandang sebagai kesepakatan hidup bersama untuk mengatur apa apa saja yang perlu diatur di ruang publik. Kata kuncinya adalah ruang publik.
Penyelenggara negara "jangan melantur" alias "over acting" yang dalam bahasa jawa " kebablasan". Perlu pengertian dan pengetahuan yang luas untuk mengatur masyarakat yang beragam seperti kondisi negara kita ini.Â
Aturan sudah seharusnya dibuat buat untuk mengatur semua orang. Tanpa terkecuali, termasuk si pembuat aturan sendiri.
"Sudah sangat kebablasan kalau jenengan atau sampean berani membuat perangkat hukum yang mengatur sampai ke ruang-ruang privat masyarakat dan saya"
Perlu minimum pengetahuan dan pengertian terkait perbedaan yang mana ruang publik dan apa yang dimaksud dengan ruang privat! Sehingga tau, mana yang perlu diatur, mana yang tidak.
Dengan demikian anda tau dan  tidak bisa menghalangi saya duduk berdampingan dengan pasangan dan anak saya dimanapun saya berada sebagai contohnya.Semua yang saya lakukan di ruang privat saya tidak dalam kapasitas negara atau aparat negara untuk mengaturnya. Ngerti?..
Masyarakat Perlu Tuntunan dalam Kondisi "New Normal"
Yang masyarakat perlu dengan sangat mendesak selain pemenuhan pokok adalah pembangunan kapasitas untuk masuk dan dapat terus hidup di masa "new normal" mendatang. Tuntunan terhadap apa-apa saja yang diperlukan untuk hidup di jaman yang serba digital inilah yang mendesak disebarluaskan.
Tuntutan Perubahan Masyarakat dan Pemerintah Pasca Covid
Pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah: Bagaimana caranya membangun kapasitas masyarakat agar dapat harus mencoba dan berusaha mendapatkan penghasilan dari proses-proses digital sehingga pada akhirnya dapat mengkonversi "off line income" ke dalam penghasilan yang dihasilkan secara "online".
Hal ini sangat erat terkait dengan penyebaran pengetahuan, pelatihan keterampilan, penyediaan infrastruktur serta perubahan perilaku. Rekayasa sosial skala besar adalah persoalan yang memerlukan jawaban segera. Berapa lama waktu yang diperlukan, bagaimana melakukannya. Karena kita bicara dengan memulai dari rata-rata populasi Indonesia dengan lama belajar setara sampai kelas dua sekolah menengah.
Bonus Demografi bila dihadapkan dengan kondisi pandemik saat ini dan modal dasar lama belajar rata rata penduduk 7-8 tahun saja pemerintah boleh pesimis. Artinya banyak hal yang perlu dikerjakan bukan?
Saya malas sebenanya membahas ini sampai ke ranah ekonomi politik beserta segala aspek yang mengitarinya. Tapi sejak "wfh" alias "work from home"Â yang sudah 2 bulan ini menggoda untuk menumpahkannya walau hanya sedikit.
Masyarakat yang tertekan dengan kondisi pandemik ini semakin dibebani oleh ketiadaan pilihan atau boleh dikata semakinsempit pilihan. Masyarakat menjadi pasrah tanpa mampu membangun kapasitas untuk menjalani kehidupan pada kondisi yang sama sekali berbeda dengan yang sudah-sudah.
Keadaan dan situasi tidak bisa lagi sama dengan hari kemarin. Itu sudah pasti. Lingkungan strategis sudah berubah cepat sedangkan kemampuan beradaptasi tidak berubah secepat tantangan.
Tentang Virus
Saya masih meyakini tiada yang baru di bawah matahari. Apa yang ada kini sudah adasejak lama. Hanya pikiran kita belum mampu menjangkaunya saja.
Hal ini pun benar untuk virus sekalipun. Terlepas kita sepakat atau tidak, sudah sejak jutaan tahun kita sudah akrab dengan virus dan bahkan sampai detik ini masih terus bergaul akrab dengannya.
Sebagai manusia yang di beri akal budi banyak hal yang warisan nenek moyang yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Melihat lagi ke belakang bukan berarti kemunduran tapi persiapan untuk menghadapi loncatan berikutnya.
Belajar dari Cina
Cina dengan lantang mengatakan kepada dunia bahwa ramuan herbal warisan leluhurlah yang membantu mereka melewati masa krisis pandemik covid ini dalam membangun immunitas masyarakatnya dalam kondisi vaksin yang belum ditemukan.
Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Bukankah Indonesia juga memilki warisan pengetahuan herbal yang luar biasa besar pula?
Melihat ke belakang dan mengambil kebijaksanaan dari masa lalu dan sejarah bukanlah kemunduran tetapi persiapan untuk mengambil loncatan untuk melangkah di masa depan.
Salam Hangat, tetap sehat, sadar dan sabar.
Duren Sawit 31 Mei 2020
Hari Bagindo Pasariboe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H