air wudlu menetesi batu, dan angin bershalawat.
hidup ini, demikian singkat,
sedekat antara adzan dan sholat.
segala yang jernih, tampak begitu bercahaya.
betapa tubuh kita, seperti darah:
yang mengalir mesra ke jantung Tuhan kita
detik ke detik, usia berlepasan.
kupasrahkan tubuh ini, Tuhan:
sebagai nazar, yang mengikat diri pada simpul tali kematian
sebab Engkaulah kekuatan yang maha meremuk redamkan.
di dadaku, pisauMu menikam tajam,
mengucurlah darah batinku sebagai iman.
sebab Engkaulah warna cantik surga itu.
betapa jiwaku hanyalah kaca,
yang memantulkan sinarnya padaMu jua.
duh Gusti, rinduku padaMu ternyata ialah sungai api.
menyala di bening subuh, sebagai madah.
mengalir di tenang tubuh, sebagai darah.
maka, gugupkan aku Tuhan, dengan dzikirku.
temukan risauku. selebihnya, biar kucari sendiri, cahaya persembunyianMu.
dengan rindu yang lepuh. tubuh ini menujuMu,
tubuh yang membakar kesedihan,
tubuh yang berkobar di perapian iman
Tuhan: ini rindu nyala dalam api,
biar aku lecuh lepuh, tak peduli.
cahayaMu panas suci, aku mau mengabu, sekali lagi.
kibar-kobarkan selendangmu Tuhan.
kini ragaku meliuk tarian api.
sukmaku melenggang ke pangkuanMu, dipandu denyut nadi
menarilah Tuhan, dalam tubuhku.
menarilah sepenuh panas gairahMu.
bakar dosaku dalam api cantikMu
di gairah panasmu, Tuhan: bakar aku, sekali lagi.
aku belum sanggup jadi asap yang menanggung rindu,
saat meninggalkan api
menyala! Tuhan sudah menyala! kataku.
dan sayapku, seketika penuh bara.
bagai burung api, yang kepaknya membakar dosa
sebab yang tersisa dariku, hanya arang kesedihan dalam kobar iman.
maka, saat aku mengabu, masihkah Kau kenali aku,
Tuhan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H