Selain itu, ihwal yang menjadi perdebatan sengit antara Kaum Adat dan Kamu Padri adalah mengenai Pewarisan berdasar garis pihak perempuan, atau dikenal matrilineal dalam kebudayaan Minangkabau.
Penyerangan, penaklukan dan pertempuran
Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik - tiga tokoh penting  kaum padri- menghimbau agar Sultan Pagaruyung saat itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk mengajak semua kaum Adat agar kembali pada ajaran islam murni tanpa mencampur adukkan dengan urusan adat istiadat.
Usaha itu sia-sia karena kedua kubu tak kunjung menuai kesepakatan dan titik temu. Keduanya sama-sama memegang teguh keyakinan atas apa yang mereka percayai mengenai ajaran agama dan pentingnya memegang teguh adat istiadat.
Tak juga mendapatkan pengaruh dari Sultan, pada 1815 kaum Padri mulai geram dan melakukan penyerangan terhadap Kesultanan. Dibawah pimpinan Tuanku Pasama, kaum Padri  menyerang Kerajaan Pagaruyung.
Puncaknya, dengan begitu tragis pecahlah peperangan di Koto Tangah. Pada peperangan ini, beberapa tokoh kesultanan tewas terbunuh akibat kesalahpahaman antara Kaum Padri dan pihak Pagaruyung.Â
Serangan kaum Padri ini mengakibatkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri. Sisa-sisa kehancuran kesultanan Pagaruyung digambarkan dalam catatan Raffles berangka tahun 1818.
Dalam catatannya, Raffles menyebutkan bahwa tak ada yang tersisa dari Istana Pagaruyung, kecuali reruntuhan istana yang telah habis terbakar, Raffles menulisnya sebaga sebuah pemandangan yang mengerikan.
Pertempuran sengit antar sesama saudara satu bangsa dan satu agama ini terus berlangsung  hingga 1821. Dengan gelora jihad dan semangat meluruskan ajaran Islam, Kaum Padri terus melawan Kaum Adat yang masih bersikeras melaksanakan tradisi yang sebagian besar bertentangan dengan ajaran Islam.
Campur Tangan Belanda
Atas desakan yang begitu kuat yang diterima dari Kaum Padri, Kaum Adat diwakili oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar pada 21 Februari 1821 meminta bantuan kepada Belanda.