Pesisir Timur Pulau Sumatra awalnya saya pikir tak begitu banyak menyita perhatian. Mulai dari Palembang hingga Riau, kesan usang dan sesak perniagaan langsung membayangi benak saat mendengar wilayah pesisir tersebut.
Hal menarik ternyata saya temukan di daerah Sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis. Wilayah ini merupakan wilayah yang berhadapan langsung dengan Kepulauan Riau, Batam dan Malaka di Malaysia. Jika dilihat sekilas, wilayah ini tak beda dengan wilayah lain di Riau, Keadaan ekonomi penduduknya merangkak berkembang meski kesan tertinggal tak bisa dihindarkan.
Area Pesisir sarat Kedai Kopi
Hal sederhana yang cukup menyita perhatian saya adalah kopi! ya, wilayah Pakning ini mengingatkan saya kepada Manggar, Belitung. Tempat dimana setiap sudutnya dijejali warung kopi sederhana yang menyuguhkan kopi bercita rasa tidak main-main.
Bagi saya, secangkir kopi di sela perjalanan tidak pernah salah dan berlebihan, akhinya saya menghentikan laju kendaraan dan berhenti di salah satu kedai yang berdasarkan keyakinan supir saya adalah kedai kopi terbaik di Pakning. Kedai Kopi Jaya!
Pemiliknya adalah keturunan Tionghoa yang menurut penuturannya adalah imigran asal China bagian selatan, lelaki tua berusia sekitar 70 tahun itu sempat menyebut nama daerah namun saya lupa untuk mencatatnya.
Kedainya dibangun puluhan tahun lalu, bentuknya tak pernah berubah, begitu statis, sama statisnya dengan menu yang ditawarkan, hanya es Kopi, kopi hitam, kopi susu dan kopi gingseng.
beberapa kedai kopi di kiri dan kanan Kedai Kopi Jaya banyak yang menyulap penampilan kedainya, sebagian dari mereka mengubah image menjadi kedai kopi minimalis yang lebih mirip seperti caffe-caffe sarat gemerlap Ibu Kota.
Namun ke-statisan tempat dan ketiga menu andalannya itulah yang justru membuat Kedai Kopi Jaya bertahan hingga kini.
Saya memesan Es Kopi satu gelas besar  seharga Rp4.500. kopi hitam dipadukan dengan bongkahan es batu yang mengapung-apung di permukaan gelas membuat kantuk saya hilang dengan cepat. Kopinya beraroma kuat namun tidak terlalu asam, gulanya pas dan sekali lagi, harganya hanya Rp4.500.
Saking rajinnya warga Pakning mampir ke warung kopi, beberapa bulan lalu, pemerintah sempat mengeluarkan larangan agar warung kopi tak menerima PNS saat hari kerja.
Selain kopi, ada hal unik lain yang menjadikan pesisir Timur sepanjang Siak-Bengkalis berbeda,dari pemilik kedai, saya mendapatkan sedikit cerita, Â di wilayah ini, suku Tionghoa menjadi penduduk mayoritas, keberadaan klenteng, aroma dupa dan hio serta alunan musik-musik etnik kental terasa.
Tak ada perselisihan, tak ada hegemoni mayoritas atau tirani minoritas, masjid dan klenteng berdiri tegak nyaris tanpa ruang dan sekat. Konon, masyarakat Tionghoa justru mendapat tempat tersendiri sejak kesultanan Siak berdiri, meski kesultanan ini adalah kesultanan yang bernafas Islam begitu kental.
Akhir abad 19, pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II,  Sultan  meminta para pedagang Tionghoa untuk memberikan semacam workshop tentang bagiamana cara berniaga kepada masyarakat Siak yang kala itu belum banyak berkembang.
Atas kebaikan para pedagang Tionghoa ini, sebagai imbalan, Kesutanan Siak menghadiahi penduduk  keturunan ini sebuah klenteng yang hingga hari ini masih berdiri, klenteng Hock Siu Kong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H