Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, diadakan perbaikan terhadap Masjid Agung Demak antara lain dengan memperkuat tiang-tiang utama dengan jalan memberi pelapis kayu dan klem besi. Selanjutnya usaha-usaha perbaikan yang dilakukan pada abad XX.
Arsitektur
Kentalnya corak Nusantara terlihat dalam arsitektur Masjid Agung Demak. Berbeda dengan masjid-masjid tipe Persia atau Turki yang biasanya memiliki kubah besar, Masjid Agung Demak justru beratapkan limas khas rumah adat Jawa.
Atap tersebut bersusun tiga undakan, berbentuk segitiga sama kaki mirip dengan pura umat Hindu. Pada akhir undakan, terdapat ornamen besi berlafadz “Allah” berwarna perak gelap.
Di dalam ruangan, pengunjung dapat melihat 4 buah kayu besar yang menyangga atap masjid dengan begitu kokoh. Kayu-kayu besar bertulisakan nama 4 wali yang turut membangun dan memberikan pilar ini untuk Masjid Agung Demak.
Nama wali yang tercantum di tiang Sebelah tenggara adalah Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut merupakan sumbangan Sunan Kalijaga.
![4 pilar utama (Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/20/dsc-2187-576815542423bdbc0aedf128.jpg?t=o&v=555)
Langit-langit terbuat dari material kayu alam berwarna coklat mengkilap dihiasi lampu gantung gaya eropa yang begitu anggun. Lantainya terbuat dari pualam besar-besar berwarna gading yang ampuh menyerap panas.
![Bagian luar Masjid (Dok Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/06/20/dsc-2189-57681514ce92737f0b1e0785.jpg?t=o&v=555)
Jamaah akan dengan betah berlama-lama di masjid ini, baik untuk beribadah atau hanya sekadar berlindung dari gersangnya udara Kota Demak.
Bagian lain yang tak kalah menarik adalah adanya jam matahari sebagai salah satu indikator pelaksanaan solat. Majunya ilmu pengetahuan terutama geografi dan astronomi menjadi tuntutan Islam kala itu, karena praktik ibadah umat Islam tak dapat dipisahkan dari komponen dua disiplin ilmu yang menyangkut waktu dan tata astronomi.