Belum lagi matinya rumah makan di jalan lintas non tol yang akan semakin ditinggal pembeli. Sementara rest area malah bermunculan resto dan franchise branded, yang tentunya malah dikuasai pemodal besar.
"Harusnya rest area itu dibongkar mafianya, diserahkan lapak-lapaknya kepada pengusaha makanan di kota sekitar yang megap-megap karena potensi wisatanya menghilang karena tidak ada pintu tol di yang mengarah ke kota itu, hanya sekedar dilewati," kata seorang teman.
Yes, kekhawatiran serupa juga dialami oleh kami di Sumatera yang sebentar lagi juga akan dilewati jalan tol ribuan kilometer. Jalan tol berarti pengemudi hanya numpang lewat dengan kecepatan tinggi hingga sampai ke tujuan.Â
Maka satu-satunya cara agar penduduk Sumatera yang kotanya dilewati jalan tol adalah segera berebut kaplingan di rest area, sebelum habis dibagi-bagi untuk penguasa modal. Dan tidak ada cara lain, selain keberpihakan oleh pengelola tol.
Jika balik untung secepatnya yang dikejar, tentu lebih mudah serahkan saja kepada franchise makanan ternama. Namun jika benefit bagi rakyat yang dikejar, maka pengelolaan rest area KM678 oleh pihak swasta tentu harus ditiru dan diduplikasi. Dengan demikian barulah tercapai pembangunan infrastruktur bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Dan tidak ada gunanya juga dibuat rest area penuh dengan pedagang lokal, andai kita sebagai pengguna tol tetap lebih memilih makan makan di franchise besar.
Nah, cebong dan kampret, itulah sebenarnya sumber perdebatan kita. Antara memperjuangkan yang ideal dan membawanya hadir ke realita.
Hariadhi
Artikel ini bisa dibaca juga di hariadhi.com dan Seword.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H