"Sebentar ya, Pak," Tergopoh-gopoh ia antarkan bakpao-bakpao itu. Dan yang membuat saya takjub, ia mengantarkannya ke pekerja jalan tol yang selama ini justru mencueki dagangannya!
Bapak Alex penjual bakpao ini, walaupun hanya dagang bermodal gerobak kecil, mengerti fungsi promosi. Ia tidak membagikannya kepada kerabat yang ia kenal namun justru kepada pekerja yang selama ini emoh membeli. Maka jadilah semuanya mencoba bakpao itu untuk pertama kalinya. Atau kalau anak-anak millenial sekarang bilangnya, giveaway.
Dari sini saya baru bisa menyadari, di sinilah letak pertempuran antara kubu Kampret dan Cebong, antara batas ideal dan realita. Idealnya, seluruh pembangunan infrastruktur turut mendorong perekonomian rakyat kecil di sekitar, karena lapangan pasti akan terbuka dan uang akan berputar. Terciptalah trickle down effect. Namun kenyataannya untuk efek tersebut terwujud tidak bisa dengan begitu saja menciptakan pembangunan infrastruktur lalu pedagang kecil di sekitar langsung merasakan manfaatnya. Percuma kita menggenjot berbagai pembangunan infrastruktur tapi tak melakukan apa-apa untuk mendorong para pekerja membeli makanan dari sekitarnya.
Beranjak dari jembatan itu, saya tinggalkan satu kaos #JKWadalahkita sebagai kenang-kenangan. Pak Alex dengan senang hati memakainya, walaupun agak kedodoran. Dua hari kemudian saya melewati jembatan yang sama, sudah terlihat beberapa orang pekerja ikut membeli.
Apa pembangunan insfrastruktur melulu bisa diklaim sebagai kinerja Jokowi? Ga semua juga. Banyak di antaranya adalah investasi swasta, dikerjakan swasta, dan dipungut hasilnya juga oleh swasta. Peran pemerintah dalam hal ini adalah memperlancarnya dalam hal perizinan, membantu mendorong pembebasan lahan, dan penentuan tarif yang fair bagi pengguna jalan tol. Pun manfaatnya secara langsung ke masyarakat sebenarnya harus ada.
Sekali lagi secara ideal. Dan yang ideal itu tidak akan bisa terwujud menjadi realita kalau tidak kita upayakan.
Sekembali dari Bromo, saya lurus ke utara menuju arah Surabaya. Belok kiri menuju arah Semarang dan Solo. Tolnya luar biasa mulus. Buatan Pakde Jokowi bukan? O Tentu tidak...Cebong jangan buru-buru girang dulu.Â
Yang membuat Astra, swasta yang belakangan ikut jadi yang terdepan dalam pembangunan infrastruktur. Tapi bukan lalu karena pemiliknya swasta, lalu berarti tidak ada kontribusi untuk kesejahteraan warga sekitar.
Di salah satu rest area, KM678, sambil mandi saya memesan sarapan. Ada yang berbeda. Lapaknya bukan McD, Indomaret, atau Starrbucks. Yang ada malah kantin-kantin bertuliskan BUMDes. Di sini banyak dijual penganan selain nasi untuk sarapan, mulai dari keripik, baso, gorengan, dan lainnya yang disiapkan oleh kader PKK setempat.Â
Lalu dititipkan ke BUMDes Desa Pesantren, Tembelang. Aparat desa turut membantu mempermudah perizinan dan pembentukan BUMDes yang kemudian mendapat izin berjualan di rest area tersebut. "Yang masak ibu-ibu, kemudian dijual di rest area KM678 Jombang ini," Ibu Sunarsih menjelaskan.
Maka terbayang oleh saya selama ini perdebatan bahwa jalan tol justru mematikan potensi ekonomi, menyedot penduduk dari desa-desa untuk berpindah ke kota karena kini biayanya jadi murah dan berpindah jadi lebih cepat.Â