Pembangunan infratruktur, terutama jalan tol, selalu menjadi polemik. Banyak pihak mendebatkan apakah ada hubungan antara membangun infrastruktur besar-besaran dengan kesejahteraan rakyat kecil, terutama yang tinggal di sekitar proyeknya.Â
Kalau bagi cebong, dengan segala argumentasinya, pasti membela ide bahwa membangun infrastruktur pastilah menyerap tenaga kerja dan uang gaji yang disebarkan akan turut mendorong perekonomian di daerah. Sementara bagi dari kampret, jamak saya temukan mereka berteriak "Alah modal dari China diputar, yang kerjain orang China, yang dapat untung China, nanti utangnya juga dicicil ke China juga! Jokodok rejim aseng asing!"
Perdebatan yang klise, dan keduanya ngotot kubunya yang paling benar.
Jadi ceritanya, menjelang sore melintasi Jawa Timur menuju Jawa Tengah, saya melalangbuana menuju Gunung Bromo. Di salah satu perempatan sekitar Probolinggo, saya lihat ada jembatan layang sedang dibangun, tampaknya jalan tol. Saya cek di Google Map, benar, bagian dari tol menuju Banyuwangi.
Saya perhatikan ke arah proyeknya, betul ada banyak sekali buruh kasar di sana. Harusnya untuk urusan makan saja bisa jadi rezeki bagi masyarakat sekitar. Warteg-warteg bermunculan. Dari uang gaji yang ditebarkan, mbok-mbok warteg harusnya senang. Pemilik kontrakan dan bedeng juga harusnya menjamur. Tapi kok kenyataannya yang saya lihat sepi bae ya?
Maka saya sempatkan menegur Pak Alex, sebut saja namanya begitu, penjual bakpao yang mangkal tepat di bawah jembatan itu. Harganya luar biasa murah jika dibandingkan dengan harga bakpao di Jakarta, Rp 2.500 saja.Â
"Rame jualannya, Pak?" saya setengah berbasa-basi menanyakan rezekinya hari ini, tentu sambil menyelidik juga. "Yah, gitu deh Pak," nadanya jauh dari optimis. "Ga ada yang pekerja yang mau beli?" Tanya saya lagi. "Jarang," jawabnya singkat tanpa semangat.
Saya tercenung. Lah sejatinya harusnya si Bapak ini terbantu dengan pekerja yang suatu saat pasti ingin jajan. Kan katanya pembangunan infrastruktur harusnya mendorong perekonomian di sekitar? "Terus kok sepi Pak?" Ia lalu menjelaskan bahwa pekerja di sekitar enggan makan di luar.Â
Tebak-tebakan saja, saya belum mengecek langsung, tapi tampaknya karena sudah dibagikan kateringan oleh perusahaan kontraktor perekrutnya. Tentu saja itu pilihan yang lebih ekonomis bagi perusahaan tersebut. Namun akibatnya dari segi penjualan makanan saja, ada poin yang tidak ikut dinikmati warga sekitar.
Maka saya minta berapa banyak bakpao yang ia jual maksimal dalam sehari "80 Pak," Jawabnya. "Yang sekarang ada di gerobak?" Saya selidik lagi. "Ya adalah 100an porsi," Jawabnya sekenanya. Berarti tiap hari dia hanya bisa membawa pulang Rp 200.000. "Bersih-bersih ya 80 ribuan." Kebetulan di dashboard ada uang sekitar Rp 250.000. Harusnya seisi gerobak bisa saya beli.
"Kalau saya beli semua yang di gerobak, Bapak bagiin saja terserah ke siapa, bisa ga Pak?" Dia bingung, tak menyangka ada pertanyaan seperti itu. Lalu setelah beberapa barulah tersadar dan menjawab, "Bisa! Bisa! Sebentar saya siapkan," Lalu dengan kegirangan ia membungkusnya jadi beberapa puluh bakpao dalam tiap kantung kresek. "Nah enak kan.. sehari ini jualan bapak langsung ludes, pulang dan istirahat," kata saya puas melihat mukanya penuh senyum. Ia bertanya sekali lagi ke siapa harus dibagikan. "Terserah saja, Bapak pilih sendiri," Jawab saya.