MENGKAJI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu (KOMPAS, 14/09/2018). MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (Caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.
Dalam konteks ini, keputusan hukum yang telah diambil dapat dikaji dengan pendekatan sosiologis, normatif bahkan kritis sesuai konteksnya.
KAJIAN
Di negara demokrasi pemilihan umum dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tetapi juga dapat dimanipulasi untuk tujuan yang tidak diinginkan lebih lanjut. Akibatnya, pemilu tidak bebas nilai sebagai hasil rekayasa. Pemilu direncanakan dan diadakan, misalnya, terutama untuk menegakkan rezim atau kelas penguasa di negara-negara non-demokrasi. Mereka adalah perwakilan "semu" karena mereka diciptakan melalui pemilihan semacam itu.
Garis pertahanan pertama suatu bangsa adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) khususnya dalam penyelenggaraan pemilu yang mewakili struktur negara demokrasi. Komisi ini harus berinteraksi langsung dengan pemerintah dan masyarakat luas selain partai politik yang mencalonkan diri dalam pemilu. Di satu sisi, KPU bekerja untuk memajukan dan melindungi kepentingan semua orang (partai politik, pemerintah, dan masyarakat). Di sisi lain, ketika kepentingan banyak pihak terkendala, KPU harus sangat konsisten menegakkan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyetujui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum 2019. Namun, pembentukan PKPU bukannya tanpa kontroversi; ada klausul yang melarang mantan Pejabat koruptor mencalonkan diri, yang sekarang sedang dibahas. Pasal 4 ayat (3) mengatur bahwa “pemilihan calon yang demokratis dan transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk mantan narapidana pengedar narkoba, kekerasan seksual terhadap anak, dan korupsi”. Selanjutnya diperkuat dengan Pasal 7 Huruf G yang berbunyi, “Terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap tidak diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih.”.
Pasal 4 ayat (3) dan 11 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota tentang Larangan Mantan Narapidana Kasus Korupsi, Pengedar Narkoba, dan Kejahatan Seksual terhadap anak calon anggota legislatif (Caleg) pada Pemilu 2019 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya, yang diumumkan pada 13 September 2018. Mahkamah Agung memutuskan bahwa peraturan tersebut melanggar undang-undang tersebut di atas.
Putusan Mahkamah Agung membuka pintu untuk perdebatan hukum baru. Kontroversi tersebut berpusat pada fakta bahwa, sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung wajib menghentikan pengujian undang-undang dan peraturan jika undang-undang yang menjadi dasar peninjauan kembali juga sedang dipertimbangkan oleh dan sampai keputusan dibuat oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota merupakan implementasi dari Undang-Undang-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Putusan Mahkamah Agung memiliki keuntungan dan kerugian, dan para juru kampanye antikorupsi menyesalinya. Perjuangan mereka untuk membersihkan badan legislatif dari pejabat korup telah berakhir. Publik memaknai putusan Mahkamah Agung sebagai pembuka pintu bagi koruptor untuk maju dalam pemilihan legislatif.
TEORI PIDANA
Menurut asas absolut, seseorang hanya dapat dipidana jika telah melakukan tindak pidana atau tindak pidana lainnya (quia peccatum est). Hukuman pidana merupakan akibat wajib yang harus dijatuhkan kepada pelaku sebagai pembalasan. Oleh karena itu, keberadaan atau dilakukannya kejahatan itu sendiri menjadi dasar pembenaran atas kejahatan tersebut.
Tujuan dari pemidanaan relatif, sesuai dengan pengertian tersebut, bukanlah untuk memenuhi persyaratan keadilan yang ketat. Pembalasan dengan sendirinya tidak berguna; itu hanya berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeanaes berpendapat bahwa gagasan ini dapat disebut sebagai teori pertahanan sosial.
Penulis berpendapat bahwa pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan sangat memungkinkan karena dimuat di dalam ketentuan Pasal 10, Pasal 35 Ayat (1), maupun Pasal 38 KUHP, serta pada Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perdebatan kemudian muncul terkait dengan adanya dualisme dalam penafsiran aturan hukum yang mengatur mengenai pencabutan hak politik, dimana Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan TIPIKOR menggunakan frasa “Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu”, namun ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, maupun UUD NRI 1945 tidak mengenal terminologi “Pencabutan hak”, terminologi yang diakui yakni “Pembatasan hak”. Pencabutan hak politik yang bersifat fakultatif ini seringkali menimbulkan perlakuan disparitas terhadap seorang terpidana dikarenakan pilihan untuk menentukan seorang pelaku TIPIKOR tersebut apakah layak untuk dicabut hak politiknya sangat tergantung pada diskresi hakim.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa putusan Hakim yang sangat kasuistis, tercermin dalam kasus TIPIKOR yang dilakukan Angelina Sondakh sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014[1], yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan TIPIKOR, namun Majelis Hakim tidak memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Angelina Sondakh. Hal yang berbeda didalam putusan kasus korupsi Djoko Susilo yang memutuskan hak politiknya dicabut[2], yang mana hal tersebut menjadi tidak relevan, karena Djoko Susilo sebagai pejabat publik tidak ada hubungannya dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat sebagai saluran kekuasaannya, melainkan sebagai pejabat negara yang diangkat (appointed officials) bukan melalui pemilu. Untuk itu pilihan untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terpidana korupsi, hal ini menjadi sangat menarik ketika dilihat dari segi kelemahan dan kelebihan didalam penerapannya.
Hanya Hakim yang mengadili kasus tersebut yang dapat memutuskan apakah hak-hak tertentu harus dicabut, terutama dalam hal pencabutan hak politik seseorang setelah menerima hukuman. Dimana keputusan Hakim mewakili bentuk hukuman tambahan yang diakui baik berdasarkan preseden hukum positif maupun teori. Dengan kata lain apabila para pemangku kepentingan ingin secara otomatis memberlakukan pembatasan hak politik terpidana korupsi, maka wajar jika hal itu diakomodasi dan diperkuat dengan membuat, mengubah, atau menambah ketentuan hukum yang terkait dengan persoalan tersebut.
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Landasan Filosofis
Bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme berpeluang besar dan telah merusak sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara sejak dahulu sampai sekarang;
Landasan Sosiologis
Bahwa bertolak belakang dengan semangat dan tujuan Pancasila dan UUD 1945 serta tuntutan reformasi sebagaimana digambarkan dalam landasan filosofis huruf a, pada kenyataannya telah terjadi dalam penyelenggaraan negara, praktik- praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;
Landasan Yuridis
Bahwa KPU melakukan kebijakan formulasi Peraturan KPU yang melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan mendasarkan secara yuridis kepada beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018
Selain itu, Mahkamah Agung mempertimbangkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung. Pengadilan Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak untuk menguji bahan, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dalam putusannya, yang memuat nomor putusan yang sama atau terkait;
Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum juncto Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan. Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 13 September 2018 oleh Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Membaca dan mepelajari landasan filosofis dan sosiologis yang digunakan oleh KPU untuk menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota sebagaimana disebutkan di atas, Penulis berpendapat bahwa Komisi Pemilihan Umum telah secara berhati-hati dan bersungguh-sungguh berupaya untuk menampung dan melaksanakan harapan, rasa keadilan, dan suasana kebatinan masyarakat terhadap citra buruk atas maraknya praktik korupsi di dalam penyelenggaraan bernegara di Indonesia. Selain itu, sekaligus berupaya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi khususnya di kalangan anggota DPR yang ada di pemerintah pusat maupun daerah di masa yang akan datang.
Hanya saja, permasalahan hukum mulai muncul ketika KPU melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota seolah memberikan tafsir terhadap isi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU-RI Nomor 7 tentang Pemilu, yang secara bahasa dan arti bertentangan dengan yang dimaksud oleh undang-undang yang digunakan sebagai dasar hukum dari peraturan yang dikeluarkannya. Selain itu, secara bahasa dan juga makna pemakaian sehari-hari di masyarakat terhadap isi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menurut penulis tidak lagi diperlukan penafsiran karena sudah jelas. Hal ini dikuatkan pada lembar penjelasan UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa Pasal 240 ayat (1) huruf g, cukup jelas. Intinya, untuk mantan narapidana berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota.
Dari isi Pasal 240 ayat (1) huruf g pada UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut di atas, kata kecuali memberikan arti bahwa untuk mantan narapidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota. Menurut penulis, untuk hal tersebut diperlukan penafsiran serta rumusan lebih lanjut adalah tentang frasa “secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” Maksudnya, batasan atau kriteria minimal baik mengenai waktu maupun cara-cara yang harus dilakukan oleh mantan terpidana di dalam mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa dia adalah bekas narapidana. Kemudian untuk supaya tafsiran dan rumusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perlu dimuat di dalam peraturan perundang-undangan. Jika ini dilakukan maka akan mempermudah para pemangku kepentingan untuk ikut mengawasi sekaligus untuk memberikan bentuk sanksi apakah persyaratan tersebut sudah dilaksanakan oleh mantan terpidana dalam rangka mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dengan demikian penulis mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan UUD-RI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan maka Mahkamah Agung sebagai salah satu kekuasaan kehakiman Republik Indonesia mempunyai wewenang untuk mengadili dan menguji materi pada tingkat pertama dan terakhir terhadap peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, di mana melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 maka Mahkamah Agung membatalkan Pasal4 ayat(3), Pasal 11 ayat(1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota.
Penulis berpendapat adanya kelemahan dan kelebihan terkait pencabutan hak politik sebagaimana akan di uraikan berikut :
Kelemahan pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan ini telah bertentangan dengan hak asasi warga negara itu sendiri. Mengingat pendapat John Locke dan F.J. Sthall yaitu salah satu tujuan negara adalah memelihara dan menjamin hak asasi, serta menurut Karel Vasak, hak politik merupakan generasi HAM pertama yang harus diprioritaskan. Apalagi, Indonesia menganut sistem pemidanaan berupa teori utilitarian dan tidak lagi menggunakan teori absolut (balas dendam). Bahkan secara yuridis, Pasal 38 Ayat (1) KUHP, Pasal 25 ICCPR, serta Pasal 70 UU HAM tidak mengenal frasa “pencabutan hak” melainkan “pembatasan hak”. Problematika lainnya yang juga muncul adalah pencabutan hak politik ini akan menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum (disparitas).
Kelebihan dalam penerapan pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan ini. Secara historis berdasarkan teori asal mula negara yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, bahwa warga negara telah memberikan haknya kepada negara, maka negara dapat membatasi bahkan mencabut hak tersebut, jika ia melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan konsensus bernegara. Hal ini dilakukan bukan untuk menggerus hak asasi melainkan untuk meminimalisir tercedarainya hak-hak warga Negara lain yang juga dijamin oleh UUD NRI 1945. Sedangkan secara yuridis, Putusan MK No.42/PUU-XIII/2015 juga menyatakan pencabutan ini berlaku bagi penyelenggara negara yang memperoleh jabatan melalui mekanisme pemilu. Begitu juga dalam Pasal 10 KUHP, Pasal 35 Ayat (1) KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang TIPIKOR yang menjadi landasan hukum pencabutan hak, sehingga telah sesuai dengan koridor hukum yang ada.
SARAN
Apabila pencabutan hak politik dipertahankan, maka Pemerintah harus melakukan sinkronisasi hukum yang mengatur mengenai pencabutan hak politik itu sendiri, dengan melakukan pencabutan hak politik berdarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 yang membatasi waktu dilakukannya pencabutan hak politik tersebut kepada terpidana tindak pidana korupsi untuk memastikan pencabutan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM. Serta untuk menghindari adanya disparitas dan kepastian pencabutan hak politik terhadap terpidana tindak pidana korupsi, maka pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi akan dilakukan kepada setiap pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi yang nantinya akan dipertegas melalui rumusan pencabutan hak politik pidana pokok didalam Undang-Undang Tindak Pidana korupsi.
Sementara itu, dengan tidak mencabut hak politik terpidana, seorang mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri tidak lagi menjadi alternatif yang akan dipilih sebagi pejabat publik yang dipercaya rakyat melalui pemilu. Hal tersebut pernah terjadi terhadap Abdullah Puteh yang merupakan Mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, sekaligus mantan terpidana kasus korupsi, yang tidak dipilih kembali dalam Pilkada serentak 2016[3]. Apabila pencabutan hak politik bagi terpidana TIPIKOR akan dihapuskan, pemberantasan korupsi akan lebih efektif dengan melakukan penguatan sistem pemilu baik dari sisi penyelenggara pemilu dan juga pemilih untuk menutup akses kembalinya para pejabat publik yang melakukan TIPIKOR ke kekuasaannya melalui pemilihan umum. Kualifikasi dalam mekanisme pemilu harus mencerminkan penerapan asas pemilu yang LUBERJURDIL, serta track record para calon yang dapat dipublikasi secara lengkap dan luas sehingga mekanisme kontrol publik terhadap calon pemimpinnya akan semakin jelas, yang dapat memicu partisipasi masyarakat agar lebih selektif memilih pemimpin mereka.
Namun, tak hanya itu dari sisi pemilih yaitu masyarakat juga harus dibangun kesadaran politiknya, dengan menciptakan karakter masyarakat tidak mudah terpengaruh karena money politic, tetapi memang dipicu oleh adanya kesadaran untuk memilih pemimpin yang layak. Sehingga, mekanisme pemilu yang telah efektif nantinya akan menjadi penerapan sanksi sosial itu sendiri bagi mantan narapidana yang mencalonkan dirinya kembali, bahkan secara otomatis dengan adanya gelar terpidana tersebut akan menjadi nilai minus baginya.
Semoga menjelang bergulirnya pemilu 2024 nanti masyarakat semakin bijak dalam menggunakan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai Pasal 28I ayat (4) UUD RI 1945 serta hak politik nya sesuai Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999.
SUMBER REFERENSI
Peraturan Perundang-undangan :
- Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
- Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
- Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
- Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Putusan :
- Putusan Mahkamah Agung No.1616K/Pid.Sus/2013 atas terpidana kasus korupsi Angelina Sondakh
- Putusan Mahkamah Agung No. 537K/Pid.Sus/2014 atas terpidana kasus korupsi Djoko Susilo
Internet :
- Detik News, “Hasil Akhir Pleno KIP Aceh: Pasangan Irwandi-Nova Unggul”, https://detik .com/news/berita/d-3432015/hasil-akhir-pleno-kip-aceh-pasangan-irwandi-nova-unggul, diakses pada Tanggal 14 Oktober 2022, pukul 09.11 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H