Landasan Yuridis
Bahwa KPU melakukan kebijakan formulasi Peraturan KPU yang melarang mantan terpidana korupsi untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan mendasarkan secara yuridis kepada beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018
Selain itu, Mahkamah Agung mempertimbangkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung. Pengadilan Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak untuk menguji bahan, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dalam putusannya, yang memuat nomor putusan yang sama atau terkait;
Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum juncto Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan. Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 13 September 2018 oleh Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Membaca dan mepelajari landasan filosofis dan sosiologis yang digunakan oleh KPU untuk menetapkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota sebagaimana disebutkan di atas, Penulis berpendapat bahwa Komisi Pemilihan Umum telah secara berhati-hati dan bersungguh-sungguh berupaya untuk menampung dan melaksanakan harapan, rasa keadilan, dan suasana kebatinan masyarakat terhadap citra buruk atas maraknya praktik korupsi di dalam penyelenggaraan bernegara di Indonesia. Selain itu, sekaligus berupaya mencegah terjadinya tindak pidana korupsi khususnya di kalangan anggota DPR yang ada di pemerintah pusat maupun daerah di masa yang akan datang.
Hanya saja, permasalahan hukum mulai muncul ketika KPU melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota seolah memberikan tafsir terhadap isi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU-RI Nomor 7 tentang Pemilu, yang secara bahasa dan arti bertentangan dengan yang dimaksud oleh undang-undang yang digunakan sebagai dasar hukum dari peraturan yang dikeluarkannya. Selain itu, secara bahasa dan juga makna pemakaian sehari-hari di masyarakat terhadap isi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menurut penulis tidak lagi diperlukan penafsiran karena sudah jelas. Hal ini dikuatkan pada lembar penjelasan UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa Pasal 240 ayat (1) huruf g, cukup jelas. Intinya, untuk mantan narapidana berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota.
Dari isi Pasal 240 ayat (1) huruf g pada UU-RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut di atas, kata kecuali memberikan arti bahwa untuk mantan narapidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota. Menurut penulis, untuk hal tersebut diperlukan penafsiran serta rumusan lebih lanjut adalah tentang frasa “secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” Maksudnya, batasan atau kriteria minimal baik mengenai waktu maupun cara-cara yang harus dilakukan oleh mantan terpidana di dalam mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa dia adalah bekas narapidana. Kemudian untuk supaya tafsiran dan rumusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perlu dimuat di dalam peraturan perundang-undangan. Jika ini dilakukan maka akan mempermudah para pemangku kepentingan untuk ikut mengawasi sekaligus untuk memberikan bentuk sanksi apakah persyaratan tersebut sudah dilaksanakan oleh mantan terpidana dalam rangka mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dengan demikian penulis mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan UUD-RI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan maka Mahkamah Agung sebagai salah satu kekuasaan kehakiman Republik Indonesia mempunyai wewenang untuk mengadili dan menguji materi pada tingkat pertama dan terakhir terhadap peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, di mana melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 maka Mahkamah Agung membatalkan Pasal4 ayat(3), Pasal 11 ayat(1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota.