Mohon tunggu...
Hari Nugraha
Hari Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

평온 우리는 우리가 하나님에 근접 할 때 얻을 것이다

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Opini terhadap Putusan Mahkamah Agung terkait Uji Materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 20 Tahun 2018

14 Oktober 2022   11:17 Diperbarui: 23 Oktober 2022   22:47 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis berpendapat adanya kelemahan dan kelebihan terkait pencabutan hak politik sebagaimana akan di uraikan berikut :

Kelemahan pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan ini telah bertentangan dengan hak asasi warga negara itu sendiri. Mengingat pendapat John Locke dan F.J. Sthall yaitu salah satu tujuan negara adalah memelihara dan menjamin hak asasi, serta menurut Karel Vasak, hak politik merupakan generasi HAM pertama yang harus diprioritaskan. Apalagi, Indonesia menganut sistem pemidanaan berupa teori utilitarian dan tidak lagi menggunakan teori absolut (balas dendam). Bahkan secara yuridis, Pasal 38 Ayat (1) KUHP, Pasal 25 ICCPR, serta Pasal 70 UU HAM tidak mengenal frasa “pencabutan hak” melainkan “pembatasan hak”. Problematika lainnya yang juga muncul adalah pencabutan hak politik ini akan menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum (disparitas).

Kelebihan dalam penerapan pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan ini. Secara historis berdasarkan teori asal mula negara yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, bahwa warga negara telah memberikan haknya kepada negara, maka negara dapat membatasi bahkan mencabut hak tersebut, jika ia melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan konsensus bernegara. Hal ini dilakukan bukan untuk menggerus hak asasi melainkan untuk meminimalisir tercedarainya hak-hak warga Negara lain yang juga dijamin oleh UUD NRI 1945. Sedangkan secara yuridis, Putusan MK No.42/PUU-XIII/2015 juga menyatakan pencabutan ini berlaku bagi penyelenggara negara yang memperoleh jabatan melalui mekanisme pemilu. Begitu juga dalam Pasal 10 KUHP, Pasal 35 Ayat (1) KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang TIPIKOR yang menjadi landasan hukum pencabutan hak, sehingga telah sesuai dengan koridor hukum yang ada.

SARAN

Apabila pencabutan hak politik dipertahankan, maka Pemerintah harus melakukan sinkronisasi hukum yang mengatur mengenai pencabutan hak politik itu sendiri, dengan melakukan pencabutan hak politik berdarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.42/PUU-XIII/2015 yang membatasi waktu dilakukannya pencabutan hak politik tersebut kepada terpidana tindak pidana korupsi untuk memastikan pencabutan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM. Serta untuk menghindari adanya disparitas dan kepastian pencabutan hak politik terhadap terpidana tindak pidana korupsi, maka pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi akan dilakukan kepada setiap pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi yang nantinya akan dipertegas melalui rumusan pencabutan hak politik pidana pokok didalam Undang-Undang Tindak Pidana korupsi.

Sementara itu, dengan tidak mencabut hak politik terpidana, seorang mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri tidak lagi menjadi alternatif yang akan dipilih sebagi pejabat publik yang dipercaya rakyat melalui pemilu. Hal tersebut pernah terjadi terhadap Abdullah Puteh yang merupakan Mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, sekaligus mantan terpidana kasus korupsi, yang tidak dipilih kembali dalam Pilkada serentak 2016[3]. Apabila pencabutan hak politik bagi terpidana TIPIKOR akan dihapuskan, pemberantasan korupsi akan lebih efektif dengan melakukan penguatan sistem pemilu baik dari sisi penyelenggara pemilu dan juga pemilih untuk menutup akses kembalinya para pejabat publik yang melakukan TIPIKOR ke kekuasaannya melalui pemilihan umum. Kualifikasi dalam mekanisme pemilu harus mencerminkan penerapan asas pemilu yang LUBERJURDIL, serta track record para calon yang dapat dipublikasi secara lengkap dan luas sehingga mekanisme kontrol publik terhadap calon pemimpinnya akan semakin jelas, yang dapat memicu partisipasi masyarakat agar lebih selektif memilih pemimpin mereka.  

Namun, tak hanya itu dari sisi pemilih yaitu masyarakat juga harus dibangun kesadaran politiknya, dengan menciptakan karakter masyarakat tidak mudah terpengaruh karena money politic, tetapi memang dipicu oleh adanya kesadaran untuk memilih pemimpin yang layak. Sehingga, mekanisme pemilu yang telah efektif nantinya akan menjadi penerapan sanksi sosial itu sendiri bagi mantan narapidana yang mencalonkan dirinya kembali, bahkan secara otomatis dengan adanya gelar terpidana tersebut akan menjadi nilai minus baginya.

Semoga menjelang bergulirnya pemilu 2024 nanti masyarakat semakin bijak dalam menggunakan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai Pasal 28I ayat (4) UUD RI 1945 serta hak politik nya sesuai Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999.

SUMBER REFERENSI

Peraturan Perundang-undangan :

  • Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
  • Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
  • Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  • Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Putusan :

  • Putusan Mahkamah Agung No.1616K/Pid.Sus/2013 atas terpidana kasus korupsi Angelina Sondakh
  • Putusan Mahkamah Agung No. 537K/Pid.Sus/2014 atas terpidana kasus korupsi Djoko Susilo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun