TEORI PIDANA
Menurut asas absolut, seseorang hanya dapat dipidana jika telah melakukan tindak pidana atau tindak pidana lainnya (quia peccatum est). Hukuman pidana merupakan akibat wajib yang harus dijatuhkan kepada pelaku sebagai pembalasan. Oleh karena itu, keberadaan atau dilakukannya kejahatan itu sendiri menjadi dasar pembenaran atas kejahatan tersebut.
Tujuan dari pemidanaan relatif, sesuai dengan pengertian tersebut, bukanlah untuk memenuhi persyaratan keadilan yang ketat. Pembalasan dengan sendirinya tidak berguna; itu hanya berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeanaes berpendapat bahwa gagasan ini dapat disebut sebagai teori pertahanan sosial.
Penulis berpendapat bahwa pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan sangat memungkinkan karena dimuat di dalam ketentuan Pasal 10, Pasal 35 Ayat (1), maupun Pasal 38 KUHP, serta pada Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perdebatan kemudian muncul terkait dengan adanya dualisme dalam penafsiran aturan hukum yang mengatur mengenai pencabutan hak politik, dimana Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan TIPIKOR menggunakan frasa “Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu”, namun ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, maupun UUD NRI 1945 tidak mengenal terminologi “Pencabutan hak”, terminologi yang diakui yakni “Pembatasan hak”. Pencabutan hak politik yang bersifat fakultatif ini seringkali menimbulkan perlakuan disparitas terhadap seorang terpidana dikarenakan pilihan untuk menentukan seorang pelaku TIPIKOR tersebut apakah layak untuk dicabut hak politiknya sangat tergantung pada diskresi hakim.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa putusan Hakim yang sangat kasuistis, tercermin dalam kasus TIPIKOR yang dilakukan Angelina Sondakh sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014[1], yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan TIPIKOR, namun Majelis Hakim tidak memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada Angelina Sondakh. Hal yang berbeda didalam putusan kasus korupsi Djoko Susilo yang memutuskan hak politiknya dicabut[2], yang mana hal tersebut menjadi tidak relevan, karena Djoko Susilo sebagai pejabat publik tidak ada hubungannya dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat sebagai saluran kekuasaannya, melainkan sebagai pejabat negara yang diangkat (appointed officials) bukan melalui pemilu. Untuk itu pilihan untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terpidana korupsi, hal ini menjadi sangat menarik ketika dilihat dari segi kelemahan dan kelebihan didalam penerapannya.
Hanya Hakim yang mengadili kasus tersebut yang dapat memutuskan apakah hak-hak tertentu harus dicabut, terutama dalam hal pencabutan hak politik seseorang setelah menerima hukuman. Dimana keputusan Hakim mewakili bentuk hukuman tambahan yang diakui baik berdasarkan preseden hukum positif maupun teori. Dengan kata lain apabila para pemangku kepentingan ingin secara otomatis memberlakukan pembatasan hak politik terpidana korupsi, maka wajar jika hal itu diakomodasi dan diperkuat dengan membuat, mengubah, atau menambah ketentuan hukum yang terkait dengan persoalan tersebut.
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Landasan Filosofis
Bahwa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme berpeluang besar dan telah merusak sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara sejak dahulu sampai sekarang;
Landasan Sosiologis
Bahwa bertolak belakang dengan semangat dan tujuan Pancasila dan UUD 1945 serta tuntutan reformasi sebagaimana digambarkan dalam landasan filosofis huruf a, pada kenyataannya telah terjadi dalam penyelenggaraan negara, praktik- praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;