Tiba di Pelabuhan Ratu, saya meneruskan kebiasaan saya mencari kuliner khas daerah setempat. Begitu masuk pasar tradisional, mata saya tertumbuk kepada sebuah bunga-bungaan berwarna merah.
"Mau? Ini teh kecombrang. Cuma ada kalau musim," kata ibu-ibu penjualnya.
Saya membeli dua ikat, dengan tambahan petai cina sebagai pelengkap, ditambah tempe dan jamur. Lalu di tepi pantai, saya melihat lapangan luas yang dipakai untuk menjemur sejenis biji-bijian.
"Kapulaga? Tah eta.. kapulaga. Kalau sudah kering, harganya bisa mahal sekali. Rp 200 ribu sekilo." Tambahnya lagi setelah terdengar sayup-sayup terdengar teriakan dari arah rumah. Di rumah itu tertulis "Jasa Pijat". Saya pun berhenti sekalian meminta diurut refleksi.
Orang yang berteriak itu ternyata bernama Abah Jawa, demikian penduduk sekitar memanggilnya.
"Ayo, sini saya urut. Wah bawa sayuran sekalian, buat apa?" Tanya Abah Jawa.
"Buat minta tolong dimasakkan oleh warga. Abah bisa masak?" Tanya saya. Ternyata rumah itu dihuni beberapa orang pria yang mengontrak bersama.
"Boleh, kita juga di sini lajang semua. Biasa masak sendiri." Kata Abah Jawa sambil menotok beberapa bagian dari kaki saya yang terasa sakit karena kelelahan mengendarai motor lebih dari enam jam dari Jakarta. Saya berteriak-teriak menahan sakit.