"Saya teh ga tau kapan jalanan dan warung ini dibangun. Tapi sejak lahir juga sudah ikutan jaga di sini. Ikut orangtua," jawab Ike, gadis manis berjilbab di warung sekitaran Cikadang, Sukabumi. Dari beberapa orang penjaga warung di sini, memang tak ada yang bisa secara pasti mengingat kapan warung mereka dibangun. Beberapa sudah berpindah tangan karena dijual pemilik aslinya. Bahkan ada yang sampai ketakutan saya tanya.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/ike-5fac453d8ede4838134cbc12.jpg?t=o&v=770)
"Saya memang bukan orang sini. Tapi sudah beberapa tahun belakangan suka main ke Sukabumi, untuk jalan-jalan, berwisata melepas lelah sehabis kerja." Jawabnya saat saya tanya keperluannya ada di warung itu.
"Saya ini orang Palembang. Tapi setahu saya jalan ini memang sudah ada sejak zaman dulu juga. Tapi bentuknya jalan setapak yang kemudian jadi jalan bebatuan. Sebelumnya ini kebun teh, lalu jadi kebun sawit, kemudian muncul kebutuhan jalan yang lebih baik untuk mengangkut sawit," tembahnya lagi.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/warung-sawit-5fac45e78ede48338a5a76b2.jpg?t=o&v=770)
"Mungkin sejak dua puluhan tahun lalu. Saya tidak tahu pasti."
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/sait-warung-5fac4705d541df60aa380562.jpg?t=o&v=770)
"Dikira-kira saja itu pohonnya kan sudah cukup tinggi, Seperti itu dalam beberapa tahun lagi harus ditanam ulang karena sudah tua," jawab seorang penjaga warung yang tak mau disebutkan namanya. Dari tingginya yang sudah mencapai 5-6 kali tinggi orang dewasa, saya perkirakan memang umurnya dua puluhan tahun.
"Memang dengan jalan pintas ini, tidak lewat jalan raya menuju Kota Sukabumi dulu, jadi lebih mudah menuju Pantai Pelabuhan Ratu, lebih cepat sekitar setengah hingga satu jam," terang Dahlan.
Jalan pintas Cikidang ini memang lebih cepat, asalkan kita mengendara dengan hati-hati. Berbelok dari pertigaan Cibadak, langsung tembus ke Pelabuhan Ratu, alih-alih berputar dulu ke Cimanggu.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/baso-kang-dede-5fac481cd541df2c50700962.jpg?t=o&v=770)
"Bahkan dari cerita yang saya dengar dari orang-orang, pemilik sawit pun sengaja membiarkan tanah di pinggiran jalan itu dibangun warung. Justru supaya jalanan itu tidak terlalu lengang, sehingga mengundang begal. Sekarang sudah hampir seluruh pinggiran jalannya ada warung, kan? Dulu gelap semua itu," Kang Dede menambahkan.
"Tapi itu cuma cerita warga sekitar, ya. Cerita saja.."
![kios-sawit-5fac48848ede4864d3668e32.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/kios-sawit-5fac48848ede4864d3668e32.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/anakraja-5fac48c7d541df56fa1cdd52.jpg?t=o&v=770)
"Tapi dulu juga sekitaran sini kebun sawit. Bedanya yang sekitaran sini biasanya punya warga sekitar. Kalau ke arah bawah sana baru punya PTPN."
Menjelang Pelabuhan Ratu, di sekitaran Sungai Citarik, saya menemui penjaga bumi perkemahan Bravo Adventure, bernama Alif. Ia juga membenarkan bahwa sejak terbukanya jalan pintas Cikidang, banyak titik-titik wisata baru bermunculan, termasuk perkemahan dan rafting di sekitaran sana.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/kemah-5fac4a3f8ede484b061ed3f2.jpg?t=o&v=770)
Bravo Adventure sendiri baru berdiri beberapa tahun lalu. Namun keberadaannya turut memberikan pekerjaan kepada warga sekitar.
"Saya sendiri dulu berkerja di pertambangan sekitar sini. Setelah ditutup, kehilangan pekerjaan. Sekarang saya bersyukur lah diterima bekerja di tempat wisata ini," tutur Pak Dedeh, ikut memberikan keterangan.
Dari hasil pencarian di internet, daerah menjelang Pelabuhan Ratu dulunya memang banyak pertambangan, beberapa di antaranya pertambangan liar yang merusak lingkungan dan berkali-kali ditertibkan. Kini tak banyak lagi pertambangan tersebut yang eksis. Gantinya, banyak sekali hotel, perkemahan, dan spot arung jeram yang didirikan.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/dedeh-5fac4a12d541df661263a0d2.jpg?t=o&v=770)
Tentunya keberadaan kebun sawit tidak lepas dari kritik. Alif mengungkap kekhawatirannya terhadap eksistensi wisata arung jeram.
"Kebun sawit itu setahu saya kan rakus air. Nah itu saya lihat ada efeknya terhadap sungai di sini. Dulunya selalu airnya deras. Sekarang hanya kalau musim hujan saja airnya cukup banyak. Kalau kemarau seperti ini airnya minim, kami harus mengurangi kapasitas, dibatasi penumpangnya," demikian argumennya.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/daerah-aliran-sungai-5fac49e5d541df0a081be2a2.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/monyet-di-cikidang-5fac4d3ad541df3a1155d3b3.jpg?t=o&v=770)
Tiba di Pelabuhan Ratu, saya meneruskan kebiasaan saya mencari kuliner khas daerah setempat. Begitu masuk pasar tradisional, mata saya tertumbuk kepada sebuah bunga-bungaan berwarna merah.
"Mau? Ini teh kecombrang. Cuma ada kalau musim," kata ibu-ibu penjualnya.
Saya membeli dua ikat, dengan tambahan petai cina sebagai pelengkap, ditambah tempe dan jamur. Lalu di tepi pantai, saya melihat lapangan luas yang dipakai untuk menjemur sejenis biji-bijian.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/kapulaga-5fac4b8ed541df5b073f9c13.jpg?t=o&v=770)
"Kapulaga? Tah eta.. kapulaga. Kalau sudah kering, harganya bisa mahal sekali. Rp 200 ribu sekilo." Tambahnya lagi setelah terdengar sayup-sayup terdengar teriakan dari arah rumah. Di rumah itu tertulis "Jasa Pijat". Saya pun berhenti sekalian meminta diurut refleksi.
Orang yang berteriak itu ternyata bernama Abah Jawa, demikian penduduk sekitar memanggilnya.
"Ayo, sini saya urut. Wah bawa sayuran sekalian, buat apa?" Tanya Abah Jawa.
"Buat minta tolong dimasakkan oleh warga. Abah bisa masak?" Tanya saya. Ternyata rumah itu dihuni beberapa orang pria yang mengontrak bersama.
"Boleh, kita juga di sini lajang semua. Biasa masak sendiri." Kata Abah Jawa sambil menotok beberapa bagian dari kaki saya yang terasa sakit karena kelelahan mengendarai motor lebih dari enam jam dari Jakarta. Saya berteriak-teriak menahan sakit.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/pete-cina-5fac4bbdd541df6a872f4562.jpg?t=o&v=770)
"Ini petai cina ngapain kamu beli? Petik saja di sekitar sini banyak. Tumbuh liar. Gratis teu perlu bayar." Abah Jawa tertawa.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/sambal-kecombrang-5fac4bcb8ede4869230caca4.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/pete-2-5fac4bedd541df5b073f9c15.jpg?t=o&v=770)
"Kita senang ada orang kota mau duduk bersama makan ala kadarnya begini," Kata Kang Maman sambil terus menyuapkan nasi dengan lahap.
"Sudah kebiasaan saya mengajak serta makan warga sesuai dengan masakan rumahan mereka, Kang. Jadi bisa lebih akrab dan dapat keterangan lebih banyak untuk bahan tulisan," jawab saya.
"Sebenarnya banyak sekali tempat wisata di dekat Pelabuhan Ratu ini. Tapi memang yang ada di tengah-tengah kebun sawit adanya di sekitar Cikidang sana," Kang Maman menginfokan. "Sekitaran Saolin juga ada beberapa," keterangannya makin menguatkan fakta yang saya dapatkan sebelumnya.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/baso-5fac4c528ede4823ea5db992.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/curug-sewu-5fac4e9dd541df76c824d9c2.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/curug-sewu-2-5fac4ecfd541df7e7a70cc23.jpg?t=o&v=770)
"Ini harusnya ramai, Bang. Tapi hari ini tutup. Saya tadi bareng teman-teman, tak jadi mandi di sini. Mereka pulang duluan, saya duduk-duduk saja menyaksikan pemandangan," jelasnya.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/curug-sewu-5-5fac4f7d8ede48200518c222.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/curug-sewu-3-5fac4f16d541df11313b71b2.jpg?t=o&v=770)
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/pantai-bagedur-5fac5033d541df5f015dc392.jpg?t=o&v=770)
Namun itu bukan berarti pantai ini tidak ada peminat sama sekali. Di sekitarnya, saya lihat ada hotel dan homestay yang berdiri. Mungkin hanya menunggu waktu untuk pantai ini menjadi populer dan sama ramainya dengan Pantai Sawarna.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/bagedur-5fac505ed541df241b619df2.jpg?t=o&v=770)
Kenapa tidak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI