Menjelang sore, Pak Hussein mengajak saya kembali ke rumahnya. Sambil mengupas jengkol bersama anak dan istri, ia bercerita lebih lengkap lagi mengenai seluruh kebunnya.
"Berapa banyak panennya, Pak?" Saya menyelidik.
"Tergantung kondisinya. Kalau sedang apes, sesedikit-dikitnya dapat dua ton. Kalau sedang bagus, bisa sampai enam ton. Itu juga belum semua berbuah bagus," jawabnya
"Tiga dari empat anak saya sudah kuliah dan kerja, tinggal si bungsu sebentar lagi lulus dari jurusan pertanian. Dia punya cita-cita mengganti sebagian pohon sawit ini dengan durian, katanya," kata Pak Hussein saat mengantar ke kebun besarnya. Itu berarti sistem tumpangsari yang diterapkan di kebun ini akan makin jelas, bukan hanya acak di beberapa titik, tapi disengaja dan berselang seling. Kebun itu rimbun dan hijau sekali.
"Yang itu namanya harendong. Untuk membungkus ikan sesudah dimasak," jelas Pak Hussein saat saya sibakkan belukar berdaun lebar. Tak ada satupun tanaman yang tumbuh di sini yang tak ada manfaatnya.
Saat mentari mulai mendekati cakrawala, saya berpamitan. Pak Hussein menyelipkan jengkol muda yang tadi saya beli. "Jengkol ini enak dilalap, tidak keras dan bau. Rasanya manis. Makan saja nanti sebagai tambahan sayur kalau makan di tepi jalan," pesannya.
Tinggal bagaimana cara kita memahami dan mengarahkannya agar jadi produktif.