Tuan-tuan yang terhormat!
Dalam memperjuangkan nasib para petani, sering sekali terdengar kapitalisme dan neo liberalisme. Kapitalisme itu nyata adanya. Neo liberalisme menjadi cara untuk merampas sumber daya dan menekan sebuah bangsa demi kepentingan bangsa yang lain.
Ia menjadi cara bagi bangsa bermodal kuat untuk menyelamatkan produksi petaninya sendiri dan menyingkirkan produk petani dari bangsa lain, dengan kampanye yang minim hati nurani. Selama ada yang namanya ekonomi bangsa, ada ekonomi negeri, maka praktek-praktek penjajahan secara halus ini akan terus dilakukan.
Itulah yang seharusnya membuat hati kami semua tergerak. Karena selama ini Bangsa ini keseluruhannya hanya dianggap pasar, tempat melempar produk, mengeruk kapital, bukan sebuah komunitas yang perlu dijadikan sahabat, bukan penyuplai yang saling menguntungkan timbang balik. Bukan dianggap sebagai sesama bangsa yang setara dan saling bantu. Bukan mitra.
Selama ini petani-petani kami dibuat menjerit oleh kampanye hitam yang mendiskreditkan produk mereka sebagai tidak ramah lingkungan, merusak alam, mendatangkan penyakit jantung dan stroke, dan sebagainya.
Padahal banyak riset sudah membuktikan bahwa sawit justru penghasil minyak paling efisien, baik dari segi lahan maupun pemanfaatan air. Semuanya diabaikan, dan tetap saja bulir demi bulir yang mereka hasilkan dengan darah dan air mata dicap sebagai perusak alam.
Penjajahan adalah sebuah upaya mendikte, memaksakan, dan akhirnya menguasai keputusan-keputusan yang diambil sebuah bangsa. Walaupun penjajahan secara fisik hampir tiada lagi dengan merdekanya banyak negara-negara di Asia dan Afrika paska perang dunia kedua, namun penjajahan ekonomi adalah nyata adanya, Tuan-Tuan yang terhormat....
Nafsu akan kekayaan, Tuan-Tuan..., nafsu akan uanglah yang menjadi pendorong Colombus menempuh samudera Atlantik nan luas itu; nafsu akan emaslah yang membuat Bartholomeus Diaz dan Vasco da Gama menentang hebatnya gelombang samudera Hindia; pencarian kekayaanlah yang menjadi penunjuk arahnya.
Nafsu akan kekayaan yang membuat kalian menuliskan NO PALM OIL di produk-produk yang dihasilkan, demi mendapat dukungan dari para pecinta lingkungan dan pemerhati kesehatan yang telah membaca data-data yang keliru.
Kampanye-kampanye semacam itulah yang selama ini membuat harga sawit anjlok dan membuat petani kami menjerit. Bertahun-tahun...
Dalam keadaan demikian, kiranya perlu kami semua turun dan melakukan perlawanan. Tak berdiam diri di rumah sahaja. Karena Indonesia bukan sekedar pembeli. Kami tak serendah itu. Kami juga tak sepasrah itu..
Kami bangsa yang mampu memproduksi. Dan produksi minyak nabati kami dibutuhkan seluruh dunia. Tanpa keringat petani-petani kami, tak akan ada makanan lezat terhidang di meja makan tuan-tuan para penguasa modal.
Kami pun punya kuasa. Kami punya harga diri!
Perjuangan untuk berdaulat atas hasil peluh rakyat kecil sudah banyak sekali diupayakan oleh Bangsa ini. Nikel kini sudah diupayakan tak lagi diekspor mentah-mentah, yang membuat begitu banyak yang mendengki hatinya sehingga menggugat ke PBB. Emas Papua sudah kami rebut kembali dengan penguasaan Freeport.
Maka kini kami perlu tunjukkan bahwa bangsa ini juga berdaulat atas produksi sawit petani-petaninya, tanpa perlu takut lagi harganya jatuh karena diboikot.
Boeng, Ayo Boeng!
Presiden kami sudah menyatakan, mestinya kami tidak perlu takut atas ancaman-ancaman untuk membuat bangsa ini tunduk dan patuh. Kalau tuan-tuan berani-beraninya memboikot produk petani kami, tentu sah pula kiranya bila kami memboikot produk yang tuan-tuan hasilkan dari dunia barat sana.
Untuk tuan-tuan ketahui, kami juga punya banyak sekali pilihan, bukan hanya kecap dan sambal produksi tuan saja yang bisa kami temui di pasar. Apa yang tuan-tuan anggap sebagai potensi pasar itu, bukan kalian saja penguasanya.
Ada banyak produsen kecap dan sambal yang lebih menyayangi petani-petani kami. Mereka tak malu-malu mengakui bahwa 85 persen produknya menggunakan minyak sawit. Mereka mengajari petani yang tak mengerti jadi mengerti pentingnya menjaga lingkungan. Mereka diajarkan mengoptimalkan hasil produksi sawit, supaya mereka punya uang yang cukup untuk berhenti membakari lahan dan menerapkan pertanian sustainable.
Bukannya malah mendiskreditkan produk mereka!
Tuan-tuan terhormat, sudilah kiranya kalian berbagi penderitaan bersama kami, bersama petani-petani kami. Sudah belasan tahun ini mereka menangis karena kampanye negatif yang dilakukan oleh bangsa-bangsa tuan semuanya. Sawit yang harganya sudah rendah, semakin anjlok dan kini tak lagi bisa menutupi biaya produksinya.
Banyak di antara mereka kini terbelit hutang, jangankan bisa memenuhi kebutuhan perutnya sehari-hari, pada saat tuan-tuan semuanya meraup keuntungan dari taburan selai hazelnut yang lezat di atas roti-roti hangat. Lezat nian...
Jangan pernah lupakan bahwa di balik nyaman dan mewahnya hidup tuan-tuan di barat sana, petani kami memanggul beratnya tandan sawit sambil menangis. Mereka tak punya media sosial untuk menyadari bahwa di balik kemasan sambal dan kecap tuan yang berusaha menarik hati mereka, Tuan-Tuan justru sedang menginjak-injak hasil pertanian mereka.
Andai mereka tahu dan sadar, tentu mereka akan balik pula membuang dan menginjak-injak kecap dan sambal yang tuan-tuan hasilkan.
Jika teriakan ini tidak juga tuan indahkan, maka jangan Tuan terkejut atau marah kalau petani pun bisa beramai-ramai menggugat.
Kami juga bisa meneriakkan kemerdekaan. Kemerdekaan atas tekanan. Kemerdekaan atas tekanan kampanye NO PALM OIL. Kemerdekaan untuk membeli produk apapun yang kami mau. Kemerdekaan untuk memboikot produk apapun yang nyata-nyata membuat petani-petani kecil kami menderita.
Merdeka!
*terinspirasi tulisan Indonesia Menggugat oleh Soekarno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H