"Kalau bantuan ini cuma untuk minta kami berfoto dan dijual ke dunia luar, jangan lah. Sudah terlalu banyak yang seperti itu," Kata Pak Jenang Jala Ludin ketus saat saya menemuinya dengan perantara Bang Pery Monjuli, aktivis dan politikus di Jambi. Di awal mukanya masam dan tak ramah. Tapi ia kemudian menambahi lagi sambil tersenyum melihat kardus buku dan alat tulis yang saya bawa, "Tapi kalau memang niatnya membantu mereka semua maju, saya akan bantu bertemu mereka."
Sambil menunggu makan malam disiapkan di rumahnya di Kecamatan Air Hitam, dan buku-buku bantuan yang saya bawa diturunkan beramai-ramai dari dalam mobil, Pak Jenang Jala Ludin bercerita mengenai struktur kepemimpinan dan adat istiadat dalam Suku Anak Dalam.'
Di mata saya, melihat begitu dihormatinya Jenang, sepertinya ia sendiri semacam kepala suku juga.
"Kalau saya sudah kirimkan baju saya, mereka semua mengerti, berarti itu tanda saya memanggil untuk datang dan ada hal penting untuk dibicarakan," jelas Pak Jenang, memperlihatkan betapa pentingnya posisi ini di mata Suku Anak Dalam.
Dan dengan semakin kompleksnya permasalahan mereka, Jenang bukan sekedar penghubung lagi, tapi juga mengurusi nasib mereka, walaupun dia sendiri bukan bagian dari keturunan Suku Anak Dalam.
"Kalau mereka sakit, saya yang menguruskan ke puskesmas. Kalau kemalangan, bisa meratap berminggu-minggu, tak mengurusi lagi dirinya sendiri. Saya juga yang mencarikan makanan dan bantuan untuk keluarganya." Jelas Jenang. Ia juga harus menengahi jika terjadi pertengkaran antar Suku Anak Dalam atau dengan orang luar.
"Paling seru itu kalau sudah bertengkar masalah hukuman adat. Seringkali mereka asal sebut saja dendanya, sekian puluh juta! Tapi sebenarnya tak mengerti juga berapa banyak sebenarnya uang puluhan juta itu," Kata Pak Jenang terkekeh. Kalau sudah begitu, ia yang tamatan sekolah menengah ekonomi atas (SMEA) ini mesti memberikan masukan berapa sebenarnya nilai denda yang layak untuk dijatuhkan.
"Belikan saja kopi, rokok, beras, roti. Mereka suka itu," Saran ibu-ibu penjual bahan pangan di simpang tiga Pauh, Sarolangun, menjelang masuk ke wilayah Air Hitam, salah satu tempat Suku Anak Dalam. Di Pasar sekitaran Mandiangin saya juga mendapat saran serupa dari ibu-ibu penjual ikan di pasar. "Kalau sama Suku Anak dalam, berikan mereka ikan asin. Mereka banyak yang tak makan daging, cuma ikan-ikanan. Ikan asin itu tak bisa mereka buat sendiri."
Bantuan makanan instan, walau dalam sekejap mengenyangkan, telah terbukti justru membuat mereka makin terjerambab dalam kemiskinan dan mati kelaparan, seperti yang terjadi tahun 2015--2016. Respon pemerintah waktu itu adalah memberikan lebih banyak lagi bantuan, bukan memperbaiki kondisi kehidupan mereka.