Padahal bukan itu masalahnya.
Masalahnya, banyak di antara generasi muda Suku Anak Dalam ini tak bisa baca tulis. Saya ingat dalam salah satu catatan aktivis pendidikan di sana yang menyatakan memang bahasa mereka agak jauh dari Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, sehingga untuk bisa belajar membaca, perlu menaklukkan tantangan ini.
"Dibuatkan pun sekolah formal, pasti sepi. Lihat saja yang di depan rumah saya ini!" Saya melongok ke bangunan tersebut. Sepi dan berdebu. Tak terlihat ada aktivitas anak-anak di situ.
Dalam keadaan sulitnya akses pendidikan inilah, ada bantuan-bantuan, yang tak bisa mereka buat sendiri, yang sebenarnya mencengkram mereka makin dalam ke lubang penderitaan. Tak jarang mereka ditipu kontrak-kontrak pengalihan tanah, sehingga tergadailah bumi mereka dan hasil yang selama ini tinggal mereka petik dan buru. Perlahan hutan-hutan mereka terkonversi menjadi hamparan ladang sawit, yang sudah berstatus milik perusahaan-perusahaan dan para pendatang.
Dan tak ada yang bisa dimakan dari kumpulan buah sawit yang cuma menghasilkan rasa sepat dan gatal di lidah bila dimakan. Yang bisa mereka lakukan adalah menjualnya. Karena dulu tak paham soal kepemilikan lahan, tak jarang mereka dituding mencuri. Kalau sudah begitu, mereka akan diusir dari lahan yang masih mereka pikir milik bersama di bawah alam milik Tuhan penguasa semesta alam.
Adakah yang bekerja di perkebunan sawit? Mungkin ada. Salah satu yang banyak ditemukan adalah pemungut buah sawit rontok, atau disebut berondolan. Dari sekian kilogram buah sawit rontok, mereka mengais lembar demi lembar uang ribuan yang mereka juga kesulitan memahami berapa nilai sebenarnya uang itu.
"Saya itu tak suka kalau mereka terus-terusan dihasut dan dimanfaatkan orang luar untuk berdemo," kata Pak Jenang merujuk kepada beberapa aktivis nakal yang beroperasi di sana.
"Tak semua seperti itu, ada juga yang berusaha membantu. Tapi harusnya mereka memahami tak semua juga perusahaan sawit itu jahat. Ada yang secara rutin memberi bantuan kepada masyarakat sekitar."
Pak Jenang Jala Ludin bercerita kalau sudah ada pertentangan antara Suku Anak Dalam dengan perusahaan sawit, dialah yang pertama kali dicari polisi. Tentu maksudnya bukan karena ia terlibat dalam kerusuhan, namun sebagai penengah untuk mendamaikan. Hasutan-hasutan ini berlangsung rutin, dan dalam jangka panjang memutus akses mereka kepada program CSR yang harusnya memberi manfaat kepada pengembangan kualitas hidup Suku Anak Dalam.
"Tak banyak yang benar-benar bisa dipercaya berniat membantu memperbaiki kehidupan kami. Terutama kalau sudah bicara pendidikan dan kesehatan. Karena itu di awal saya tanyakan kepada Bapak Hariadhi apakah niatnya serius ataukah sekedar mau berfoto-foto?"