Tapi sekali lagi, berinvestasi di emas pun bukan tanpa resiko. Emas dalah benda fisik yang bisa menjadi sasaran perampokan atau hilang saat terjadi bencana.
Simpan di deposito? Bisa juga sewaktu-waktu ekonomi negara kacau dan banknya tiba-tiba kolaps. Atau terjadi huru-hara sehingga menyebabkan rush perbankan dan inflasi melejit seperti 1998. Rupiah yang kita depositokan tiba-tiba turun berkali lipat nilainya. Sami mawon.
Selagi menyangkut pautkan investasi, pasti akan diikuti resiko, selain bisa mendatangkan performa. Mimpi saja kalau merasa ada investasi yang tak ada kemungkinan turun atau bahkan hilang sama sekali.
Karena itulah kita selalu disarankan cerewet kalau menghadapi tawaran sales, financial advisor, investment manager atau apalah apalah namanya. Namanya orang jualan dikejar target, ya pastilah yang diciumkan ke hidung kita yang wangi-wangi bak mawar melati saja. Biar kita cepat tergiur dan tandatangan, close the deal ASAP, lalu mereka dapat komisi. Sementara yang busuk bak bunga tai ayam sebisa mungkin tidak dijelaskan.
Polis yang mereka sodorkan harus dibaca baik-baik sebelum ditandatangani. Pasti ada satu atau dua pasal aturan kerjasama investasi yang merugikan kita saat terjadi masalah. Karena itu baca terlebih dulu dengan cermat dan tanyakan kalau ada syarat dan ketentuan yang akan merugikan kita di masa depan. Bahkan kalau bisa, ajak teman yang lebih mengerti investasi untuk mereview bersama-sama. Kalau sudah benar-benar paham pasal per pasal perjanjian, baru tandatangan.
Selain itu banyak buku-buku mengenai investasi yang bisa kita pelajari terlebih dahulu sebelum mulai memilih dan memilah produk apa yang akan dibeli. Saran saya, hindari buku-buku yang beraroma janji cepat kaya dalam sekejap. Itu mah sama saja ujungnya akan jualan produk juga.
Edukasi diri kita untuk mengenali resiko, bukan sekedar mengejar benefit. Bahkan kalau bisa sampai kita bisa mengawasi pergerakan dari detik ke detik atas uang yang sudah kita tanamkan. Jadi kita tahu kapan mau tetap beternak uang, kapan harus menariknya untuk memperkecil kerugian.
Jadi tidak semua salah perusahaan tempat kita berinvestasi. Apalagi salahnya pemerintah. Lah bukan. Semua terjadi karena memang saat berinvestasi, uang yang kita tanamkan bisa hasilnya naik, bisa hasilnya turun.
"Nah gimana, masuk di kepala lu ga penjelasan tadi?" Tanya saya ke Megan. Masih dengan muka yang manyun, ia mengangguk-angguk.
"Kenapa ini ga lo kasih tau lebih awal sik?" Tanya Megan dengan kesal.
"Ya gimana, elo kan bangga banget waktu itu, ntar kalau gue kasih tahu, bakalan ngambek tujuh keliing lagi merasa gue jatuhin mimpinya jalan-jalan ke luar negeri. Hehehe."