Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Melawan Penjajahan atas Nikel dengan Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya

19 Desember 2019   10:32 Diperbarui: 19 Desember 2019   11:08 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: cnnindonesia

"Saat ini ada tiga jurus menguasai dunia. Pertama kuasai data, kedua kuasai waktu. Permainan big data saat ini dikuasai dunia barat melalui Google, Facebook, dan kawan-kawannya. Menguasai waktu sedang dilakukan oleh China yang merambah internet 5G hingga 6G. Kita? Kalau tidak kuat menguasai keduanya, kuasai energi!'

Demikian kira-kira pesan Mas Bud di acara sharing di Bukalapak beberapa bulan lalu. Kita memang tak punya perusahaan teknologi canggih yang bisa membaca setiap pembicaraan orang dan mengolahnya menjadi kemampuan inteligen. Kita juga tak punya koneksi canggih, wong sinyal 4Gnya saja bikin sambat tiap hari. Tapi kita masih punya dan masih bisa mengejar ketertinggalan dalam hal energi, dan yang paling vital dari itu semua adalah benda remeh bernama baterai.

Baterai adalah masa depan.

Bila tahun 1960 hingga 2018, minyak masih menguasai seluruh problem geopolitik dunia, maka berbagai konflik diciptakan, atau bahkan tercipta, untuk bisa saling raup sumber minyak di antara dua negara adidaya, USA dan Uni Soviet. Setelah Uni Soviet tumbang oleh Glasnot & Prestorika, maka selanjutnya China mengambil alih dan menciptakan berbagai ketegangan mulai dari Afrika hingga Asia Tenggara. Wacana Kapitalis versus Komunis, Demokrasi versus Tirani, dihembuskan, sehingga menciptakan pertumpahan darah di mana-mana.

Dan salah satu korban perang proxi ini adalah kita. Ratusan ribu nyawa anak bangsa tertumpah demi penguasaan minyak, batubara, dan kemudian emas. Sampai kini luka itu masih menganga, sulit sembuh.

Maka kini saat terjadi upaya gugatan Uni Eropa kepada WTO atas upaya Indonesia mengolah sendiri nikelnya, memang sudah sepantasnya kita melawan, melawan dengan sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.

Nikel adalah minyak baru bagi dunia Barat yang rakus energi. Saat manusia mulai menyadari bahwa penggunaan minyak bumi merusak lingkungan dan sumbernya suatu saat akan terkuras, maka kita berpacu dengan pengembangan teknologi untuk bisa memanfaatkan sumber lain yang berlimpah. Syaratnya satu, bauran berbagai energi itu dimanfaatkan menjadi satu komoditas yang bisa dimanfaatkan oleh semua, bernama listrik,

Alas, listrik tidak bisa dimanfaatkan begitu saja dari alam. Ia harus dipanen, lalu disimpan. Kalau tidak, ia akan musnah begitu saja dan kembali ke tempatnya semula. Kita bisa memanen listrik dari air, ombak, angin, nuklir, hingga cahaya matahari. Indonesia berlimpah dengan itu semua. Tapi tidak ada yang bisa menguasai energi bila tak mampu menyimpannya. Kita bisa memanen matahari sebanyak-banyaknya di siang hari, tapi lampu rumah tak bisa memanen cahaya itu di malam harinya.

Itulah kenapa kemudian Nikel menjadi berperan besar. Karena ia menjadi komponen penting membuat baterai kapasitas raksasa. LIhatlah baterai HP atau laptop kita saat ini, selain Cadmium, pasti tertulis nikel dan pasangannya, menjadi NiCad, NiMH, atau NiCD.

Dan Indonesia punya sumber nikel berlimpah ruah. Menurut catatan Medcom.id, potensi cadangan nikel kita 60 miliar ton, atau 23,7 persen dari seluruh kebutuhan dunia. Dan yang paling gres saat ini adalah pabrik pengolahan di Morowali.

sumber: kontan
sumber: kontan
Dan tiba-tiba kita teringat oleh berbagai keributan rasial yang menyertai pembangunan pabrik ini, seolah tak rela kalau kita punya kemampuan mengolah nikel sendiri.

Waktu itu kita belum menyadari, menganggap bahwa isu rasial di Morowali hanyalah bagian dari riak-riak Pemilihan Presiden. Saat kita melewatinya dengan smooth, maka isu itu pun berlalu.

Namun kini kedaulatan Indonesia untuk mengolah nikel sendiri, kembali berusaha diganggu. Kali ini melalui organisasi perdagangan dunia, WTO. Organisasi ini telah terkenal menjadi kaki tangan bagi negara-negara maju memaksakan kehendaknya dalam menguasai sumber daya negara berkembang, memaksakan bahwa semua komoditas harusnya boleh dibeli dengan kedok perdagangan bebas, menghalangi tekad negara lain untuk mandiri dan mampu mengolahnya sendiri.

Uni Eropa (UE) menggugat Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2020. Gugatan UE atas larangan ekspor nikel berdekatan waktu dengan gugatan Indonesia terhadap UE ke WTO atas menyikapi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE pada 9 Desember 2019 lalu.

Dan tentu kita tahu apa maksudnya.

Jokowi memutuskan melawan, seisi Indonesia memutuskan melawan. Kita ingin berdaya mengolah sumber daya alam kita sendiri. Kita sudah mencanangkan tidak boleh ada lagi ekspor mineral dan logam dalam bentuk mentah. Kita harus jadi pemain di rumah kita sendiri.

"Kita kan sudah siap juga. Sah-sah saja (UE) gugat. Kita punya alasan-alasan kuat mengapa lakukan ini, kita perlu bahan baku kita dalam negeri. Itu yang harus disampaikan oleh pemerintah," kata Shinta Kamdani,  Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional.

Jokowi pun telah berpesan yang sama, melawan dengan sebaik-baiknya. "Hadapi! Siapkan pengacara terbaik sehingga bisa menangkan gugatan itu," Nikel itu keluar dari perut bumi pertiwi. Maka anak-anak bangsalah yang berhak mengolah dan makmur karenanya. Jika Eropa menginginkan Nikel kita, maka mereka harus membelinya dengan nilai tambah yang tinggi, semahal-mahalnya, seterbatas mungkin. Karena bukan Uni Eropa saja yang menginginkannya, masih ada pasar China, Amerika Serikat, Russia, dan Timur Tengah yang juga rakus energi.

Itulah makna kedaulatan, melawan penindasan. Berdiri sendiri, melawan tekanan kolonialisme baru, saat penjajahan tidak lagi dilakukan secara fisik, namun melalui penindasan pasar, saat penambang kita ditekan untuk menjual barang mentah yang murah, lalu diolah oleh para penjajah masa kini, dan kita dipaksa membelinya dalam bentuk jadi, mobil-mobil listrik berharga ratusan ribu dollar.

Kalah? Itu bagian dari perjudian. Kalau perjuangan hingga berdarah-darah ini ternyata mesti juga takluk kepada kepentingan penjajahan global atas keserakahan mereka ingin menguasai nikel, maka kita masih bisa berdiri tegak dengan bangga, mengulang perkataan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam Bumi Manusia.

"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun