Waktu itu kita belum menyadari, menganggap bahwa isu rasial di Morowali hanyalah bagian dari riak-riak Pemilihan Presiden. Saat kita melewatinya dengan smooth, maka isu itu pun berlalu.
Namun kini kedaulatan Indonesia untuk mengolah nikel sendiri, kembali berusaha diganggu. Kali ini melalui organisasi perdagangan dunia, WTO. Organisasi ini telah terkenal menjadi kaki tangan bagi negara-negara maju memaksakan kehendaknya dalam menguasai sumber daya negara berkembang, memaksakan bahwa semua komoditas harusnya boleh dibeli dengan kedok perdagangan bebas, menghalangi tekad negara lain untuk mandiri dan mampu mengolahnya sendiri.
Uni Eropa (UE) menggugat Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2020. Gugatan UE atas larangan ekspor nikel berdekatan waktu dengan gugatan Indonesia terhadap UE ke WTO atas menyikapi kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE pada 9 Desember 2019 lalu.
Dan tentu kita tahu apa maksudnya.
Jokowi memutuskan melawan, seisi Indonesia memutuskan melawan. Kita ingin berdaya mengolah sumber daya alam kita sendiri. Kita sudah mencanangkan tidak boleh ada lagi ekspor mineral dan logam dalam bentuk mentah. Kita harus jadi pemain di rumah kita sendiri.
"Kita kan sudah siap juga. Sah-sah saja (UE) gugat. Kita punya alasan-alasan kuat mengapa lakukan ini, kita perlu bahan baku kita dalam negeri. Itu yang harus disampaikan oleh pemerintah," kata Shinta Kamdani, Â Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional.
Jokowi pun telah berpesan yang sama, melawan dengan sebaik-baiknya. "Hadapi! Siapkan pengacara terbaik sehingga bisa menangkan gugatan itu," Nikel itu keluar dari perut bumi pertiwi. Maka anak-anak bangsalah yang berhak mengolah dan makmur karenanya. Jika Eropa menginginkan Nikel kita, maka mereka harus membelinya dengan nilai tambah yang tinggi, semahal-mahalnya, seterbatas mungkin. Karena bukan Uni Eropa saja yang menginginkannya, masih ada pasar China, Amerika Serikat, Russia, dan Timur Tengah yang juga rakus energi.
Itulah makna kedaulatan, melawan penindasan. Berdiri sendiri, melawan tekanan kolonialisme baru, saat penjajahan tidak lagi dilakukan secara fisik, namun melalui penindasan pasar, saat penambang kita ditekan untuk menjual barang mentah yang murah, lalu diolah oleh para penjajah masa kini, dan kita dipaksa membelinya dalam bentuk jadi, mobil-mobil listrik berharga ratusan ribu dollar.
Kalah? Itu bagian dari perjudian. Kalau perjuangan hingga berdarah-darah ini ternyata mesti juga takluk kepada kepentingan penjajahan global atas keserakahan mereka ingin menguasai nikel, maka kita masih bisa berdiri tegak dengan bangga, mengulang perkataan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam Bumi Manusia.
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H