Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Mie-mie Keladi, Makin Tua Makin Jadi

11 Desember 2019   17:56 Diperbarui: 18 Desember 2019   12:39 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya tidak ada alasan yang benar-benar mengharuskan saya ke Pontianak, selain karena Mas Tedy (Sekjen Inovator 4.0) berhalangan. Sayalah yang diminta menemani Mas Budiman Sudjatmiko ke sana.

Mas Bud sharing di hadapan ASN yang kini semakin melek teknologi. Yang disampaikan adalah mengenai tantangan yang dihadapi pembuat kebijakan dalam menghadapi keterbukaan dan revolusi industri keempat.

Dulu saya sudah pernah ke Kalimantan, tepatnya ke Balikpapan dan Samarinda untuk pelatihan bagi kader NasDem di sana. Tapi sayangnya waktu itu belum memulai hobi membuat catatan traveling dan juga belum hobi berburu kuliner yang khas daerah tersebut. Jadilah ke sana hanya makan kepiting beramai-ramai.

"Naik Citilink saja berdua ke Pontianak ya, pulang balik sehari." Pesan Mas Ted yang tidak langsung saya iyakan.

"Kalau boleh punya saya pulangnya di-rescheduled. Saya ingin menginap di sana dua hari membina relawan Kalimantan."

Setelah berunding, akhirnya saya diizinkan untuk memperpanjang.

Tidak lama ke Pontianak, hanya 1,5 jam. Perjalanan yang cukup nyaman, hanya saja Mas Bud kedinginan dan mengantuk karena semalaman tidak tidur. Akhirnya saya diminta mengontak Hermawan, relawan Inovator di sana untuk mencarikan penginapan.

Hermawan menjemput kami sejak di bandara, lalu mengajak ke salah satu tempat kuliner di Pontianak. Mas Bud ingin mencoba lagi Mi Singkawang yang dulu pernah dia coba sampai ketagihan.

"Tapi ga usah ke Singkawangnya, jauh benar berjam-jam dari sini," Serunya. Ya jelas karena acara yang akan diadakan di Analytic Room Pemprov Kalbar akan dimulai pukul 12:30 nanti. Jadi kami makan bareng di Mie Singkawang Haji Aman saja.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Mie Singkawang ternyata semacam mie ayam di Jakarta, namun dengan sentuhan rempah-rempah yang berbeda. Untuk pelengkap rasanya, ada sambal yang mengandung lengkuas dan sedikit aroma jahe. Hasilnya jadi harum dan menghangatkan badan. Terutama untuk Mas Bud yang merasa kedinginan sejak di pesawat tadi.

Lepas makan, Mas Budiman beristirahat di hotel. Saya menggunakan kesempatan itu untuk berjalan-jalan sedikit. Untungnya di sebelah Hotel Ibis ada mal, jadi saya bisa melihat-lihat beberapa menu untuk nanti dicoba.

Pukul 12:30, waktunya ke gedung Pemprov Kalimantan Barat. Besar sekali. "Khas arsitekturnya di Kalimantan Barat memang begitu, dari luar kelihatannya besar, namun bagian dalamnya sebenarnya ruangnya tidak terlalu banyak. Meniru gaya rumah panggung." Jelas Hermawan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Acara berlangsung sekitar 3 jam, sampai saya sendiri sedikit mengantuk dan butuh minum kopi dingin beberapa botol dengan mata yang berat, hehe. Setelah acara berakhir, saya dititipi Mas Bud untuk mengurusi relawan Inovator di Kalimantan Barat, yang berarti saya disetujui untuk diberi kesempatan menginap agak lebih lama. Lumayan, bisa keliling dua hari lagi, pikir saya.

Sambil mengantar Mas Bud kembali ke bandara, kami singgah sebentar makan chai kuwe. Dari awal mendengar saya pikir itu semacam roti goreng panjang yang biasa kita temui di jalanan Jakarta.

Ternyata di Pontianak, chai kuwe itu semacam dim sum, lebih tepatnya mirip hakau. Hanya saja isinya bukan daging ayam, udang atau ikan, namun sayur atau keladi.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Keladi atau di Jawa lebih populer dengan sebutan talas, tampaknya menjadi bahan makanan yang sangat banyak dan populer di Pontianak. Berbagai olahannya menjadi snack, bahkan makanan berat seperti mie.

Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah bola keladi goreng. Warnanya kecokelatan. Rasanya? Oke mungkin tidak seperti gorengan lain di Jakarta, tapi cukup unik.

Kami harus buru-buru makan sehingga tidak semua menu sempat dicoba, tapi Mas Budiman terlihat sangat menikmati kepiting bumbu telur asin yang disajikan. "Memang tidak sebesar kepiting biasanya Mas. Tapi dagingnya manis dan enak," Jelas Hermawan.

Saya mengiyakan. "Dulu saya beli seekor di Belawan. Enak sekali dibuat sup."

Tak lama, waktunya Mas Budiman Sudjatmiko pulang. Hermawan mengantarkan saya kembali ke Hotel Ibis. Sebelumnya, kami singgah sebentar di salah satu warung yang menjual makanan ikan.

Saya mencoba asam pedas ikan lais. Saya pikir ini ikan selais yang di Sumatera diasap dan rasanya pedas dan renyah. Ternyata beda. Di Pontianak, ikan lais adalah ikan sungai tipis dan panjang. Dagingnya lembut dan bumbunya meresap. "Tahu sebanyak ini, tadi saya pesan tidak pakai nasi," Hermawan tertawa.

"Kalau memang cari yang Mas masih harus coba pacri," infonya.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

"Apa itu pacri?" Saya agak keheranan.

"Semacam sayur tapi dari buah nenas. Jadi buah tapi sayur," Ia menerangkan sambil tertawa melihat keheranan saya.

Berat sekali mata saya waktu itu. Selain karena sudah makan banyak, juga kelelahan membantu Mas Bud siangnya. Maka saya langsung pulang ke hotel dan tidur pulas sampai pagi.

Pagi sekali, saya ke Ayani Mega Mal, Pontianak di sebelah Hotel Ibis. Di sini saya mencoba mie keladi (lagi-lagi). Sebenarnya ini bukanlah mie, namun umbi keladi yang diiris tipis-tipis menyerupai mie.

Rasanya ternyata lebih enak daripada mie gandum dan bikin kenyang, walaupun jumlahnya hanya sedikit saja. Ini karena ternyata rempah dan bumbu mie jauh lebih meresap dibanding mie biasa.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Selesai makan mie, saya mencoba kopi Pontianak yang ditawarkan di mal. Sayang pengolahannya tidak terlalu baik sehingga yang terasa hanya pahit, karakternya kurang bisa dibedakan dari kopi biasa. Jadi hanya rasa pahit dan hangus yang keluar.

Mungkin bila dibina dengan baik, maka kopi Pontianak bisa mencuat dan diincar banyak kolektor. Namun tentu saya senang, setidaknya mitos bahwa Kalimantan tidak menghasilkan kopi sudah terbantahkan. Ternyata ada kok.

Menjelang maghrib, Hermawan kebali menjemput untuk kemudian kami berkumpul di Kafe Lain Hati. Dengan suasana yang nyaman dan asyik, kafe ini menjadi magnet bagi anak-anak muda Pontianak, termasuk para pegiat sosial. Jadi cocok sekali.

Di perkumpulan ini, saya berusaha mengenali kegiatan sosial apa yang sudah ada di Pontianak untuk kemudian dinurtur oleh Inovator 4.0 Indonesia. Setelah saya laporkan kepada Mas Budiman Sudjatmiko dan Tedy Tricahyono, kami sepakat akan membuatkan grup dan bimbingan kepada mereka di pertemuan selanjutnya.

Lepas dari Kafe Lain Hati, saya memutuskan menginap di Airy Reformasi di Gang Teknik 2. Di sini sangat nyaman, dengan biaya sewa hanya Rp 150 ribuan per malam.

Paginya, saya terbangun dan lapar sekali. Kali ini saya sarapan di salah satu rumah makan yang dimiliki orang Minang.

Seperti juga Melayu, pendatang dari Sumatera Barat juga cukup ramai di sini, sehingga terciptalah fusi makanan Melayu dan Sumatera Barat. Dan tebak, akhirnya saya menemukan juga sayur pacri yang diceritakan Hermawan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kebetulan Si Ibu juga membuat masakan minang rumahan, salah satunya adalah sambal lado tanak yang sudah lama sekali saya kangeni. Agak-agak belang karena sambal lado tanak dasarnya pedas sekali, sementara pacri manis sekali karena gula dari nenasnya. Ditambah pula nasi goreng. Campur aduk haha. Tapi sambil ditemani alunan lagu Chrisye jadinya nikmat sekali. Tampaknya Ibu pemilik warung adalah fans Chrisye.

Cinta, akan kuberikan

bagi hatimu yang damai

Cintaku gelora asmara

seindah lembayung senja...

Saya menikmati sarapan pagi itu karena benar-benar sebuah pengalaman baru, menikmati makanan ala Kalimantan. Memang belum sampai spesifik makanan Suku Dayak, tapi bila ada kesempatan, akan saya cari lagi sampai ke makanan eksotis dan ekstrimnya. Semoga saja kesampaian suatu saat.

Sambil menghabiskan waktu menunggu pesawat pulang ke Jakarta, saya mencoba lagi mie singkawan di salah satu kafe, namanya kafe D'Bodas. Kali ini mienya mirip soun atau bihun. Tapi rasanya kurang lebih sama, minus sambal lengkuas.

Akhirnya tiba waktunya saya kembali ke Jakarta. Sambil berkejaran dengan hujan, saya berusaha tepat waktu untuk check in sebelum pukul 19:00 karena pesawatnya akan tebang pukul 20:00.

Dan pukul 20:10, pesawat Citilink mengantarkan saya kembali ke Jakarta. Sayup di bawah terlihat cahaya dari kapal di tengah lautan. Terima kasih Pontianak, semoga bisa bertemu lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun