Tidak enak dengan pemilik warungnya, tanpa banyak berkomentar saya pulang, mandi air hangat, dan tidur. Sebelum masuk kamar, sekali lagi penjaga hotel menanyakan, "Bapa besok mau sarapan di restoran atau diantar ke kamar kah?" Saya jawab saya ingin diantar ke kamar saja, dan minta diantarkan nasi goreng dan teh hangat saja, karena sesak di dada semakin menjadi. Malas betul kalau besok harus keluar lagi.Â
Pagi hari, pintu diketuk, dan ternyata nasi goreng yang diantarkan adalah nasi goreng merah khas Makassar. Mas Kokok di kemudian hari memberitahu bahwa nasi goreng merah itu bukan karena pewarna, namun dari tomat Sulawesi yang digunakan.
"Memang varietas tomat dari Sulawesi itu beda dengan yang biasa kita makan di Jakarta. Merah sekali! Buahnya juga besar, menggelembung mirip labu atau paprika. Cakep!"Â
Dibanding nasi goreng di Kendari, boleh dibilang nasi goreng merah yang saya rasakan di Makassar lebih enak.Â
Siang hari setelah check out, saya agak kebingungan juga karena harus menunggu pesawat malam. Baru pukul 21:00 waktu boardingnya. Maka saya pun iseng ke restoran China di sebelahnya. Di pintunya tertulis sup teripang. Wah menarik, seperti apa ya teripang yang disup?
Sayangnya teripangnya mahal sekali. "Beneran ini Rp 500 ribu semangkuk?" Tanya saya. Pelayannya mengangguk, memberitahu bahwa saat itu teripang sedang tidak musim dan mendapatkan teripang terbaik untuk sup, tidak bisa sembarangan. Saya kecewa dan terpaksa heeh saja.Â
Sekilas ayam strawberry ini mirip ayam kluyuk di Bandung atau Semarang yang pernah saya coba. Tapi bedanya rasanya lebih dominan manis ketimbang asam. Ayamnya diiris tipis dan digoreng dengan tepung sampai garing, dioleskan kuah strawberrynya yang manis dan kental, baru ditaburi wijen. Sedap... Nyaris saya nambah kalau tidak ingat tadi sebenarnya juga sudah makan nasi goreng merah cukup banyak.
Lepas makan di restoran China, saya coba berjalan-jalan lagi ke arah pasar. Siapa tahu bisa ketemu oleh-oleh otentik Makassar untuk dibagikan kepada follower, hihihi.
Benar saja, baru 5 menit berjalan di Pasar Butung. "Kalau cari kain khas Makaddar coba tanya belakang kios saya. Ada Sutra Sabbe dari Bugis, Makassar.
Selain dari sutra, ada selingan benang emas yang membuatnya berkilau indah kalau dilihat dari kejauhan. Harganya juga tidak main-main, tidak perlu disebutkan, tapi cukup mahal dan bikin kantong saya kembali menjerit.Â