Di dek 5, saya menemukan kasur saya sudah diisi orang lain. "Ya sudah diisi sebelahnya saja Pak. 2008," Katanya sambil menunjuk kasur paling ujung di dekat dinding kapal. "Boleh juga sih," pikir saya. Kalau di pinggir berarti saya harus berimpit-impitan nantinya karena antar kasur tidak diberi sekat. Mirip asrama haji atau barak.
"Bangun mas, udah selese.." Katanya mengingatkan. Seisi theater sudah kosong tidak ada penonton dan lampu sudah dinyalakan.
Malas balik ke tempat tidur dan ingin bebas dari kepengapan, saya keluar dan bertemu seorang pedagang minuman bernama Ivan. "Telinga saya agak susah mendengar, Pak. Bekas kena petasan waktu kecil," katanya meminta maaf dan menyeduh kopi yang saya pesan dengan nyaris berteriak.
"Kalau mau santai sedikit, minumnya di dek 7 saja. Ada kafe dan kursi di situ," Demikian petunjuk Mas Ivan sambil menunjuk tangga menuju ke atas. Saya ikuti petunjuknya, menuju pantat kapal.
Betul ternyata ada semacam tempat duduk panjang yang memungkinkan kita rebahan dan bersantai. Hanya saja kafenya sudah tutup.
Saya coba naik lagi, ternyata ada minimarket. Di sini tersedia es krim dan minuman dingin untuk yang kegerahan. Tapi harganya tentu agak mahal dibanding minimarket di daratan. Sebotol Aqua ukuran besar dihargai Rp 15 ribu.
Di dek ini, saya tertidur hingga pagi. Beberapa kali saya kebelet buang air, dan baru menemukan masalah di kapal bagus ini, kebersihan toiletnya!
Ya... tentu saja dengan jumlah toilet yang bisa dibilang minim, diakses ratusan orang, dan beberapa ada yang mampet, membuat saya agak mual menggunakan toilet di kapal ini. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain.