"Kalian itu coba kembangkanlah wisata lain, jangan jualan kematian terus. Banyak potensi Toraja yang bisa digarap," Kata teman saya, Zed Parenta, menirukan sindiran Jusuf Kalla saat berkunjung ke Negeri di Awan, Toraja Utara. Entah benar Jusuf Kalla menyebutkan gurauan itu atau tidak, saya tidak tahu.Â
Tapi kalau dipikir-pikir ya benar juga, selama ini kita mengenal Toraja dari upacara kematiannya. Yang sensasional tentu saat upacara memapah jenazah yang sudah tersimpan bertahun-tahun lamanya ke tempat peristirahatan terakhir.
Tempat persemayaman jenazah keluarga. Biasanya ada banyak di situ, lima sampai enam jenazah," Jelas Wardhana Sello Parenta, Direktur Utama Axelle yang hari sebelumnya sudah berbaik hati mengundang saya ke pelatihan bersama antara karyawan PT Axelle dengan Suara Relawan Muda, dan dimeriahkan pula oleh para bro dan sis kader PSI Toraja.
Memang Senobawan adalah aktivis politik, sosial, dan budaya yang sangat mencintai negerinya. "Sudah kerja keliling Indonesia, punya anak istri di Jakarta, tapi dia tetap lebih memilih kerja dan berbuat sesuatu untuk kampungnya, Toraja. Ia cukup aktif berorganisasi dan berpolitik di daerah asalnya.
Tapi lagi-lagi soal cap soal wisata kematian di Toraja, bukan berarti tidak ada keindahan lain yang tersimpan di dalamnya, misalnya ya soal Negeri di Atas Awan itu.
Sehingga bukannya pemandangan yang indah, yang ada malah kabut tebal yang menghalangi pandangan secara total. Belum lagi guyuran air dingin yang menusuk sampai tulang. Saya menggigil di perjalanan karena hanya memakai kaos. "Harusnya bawa jaket, mas," Saran Zed. Tapi mbuh ya sudah terlanjur.
"Ayo kita ke Patung Yesus saja," Ajak Wardhana. "Tadi saya telepon teman yang lain katanya di sana hujannya sudah berhenti." Nah kalau yang ini saya semangat. Karena sepanjang perjalanan ke sana memang terlihat perlahan hujannya mulai kering. Menjelang naik, kami harus sedikit berputar, karena ada jalan yang ditutup karena acara gereja.
"Kalau soal agama begini, tidak di Jakarta, tidak di Toraja, mau Islam atau Kristen, mau kebaktian, mau pengajian, Â tampaknya sama saja ya, nutup jalan," komentar saya sambil tertawa-tawa.
"Oh iya, di sini memang orang sangat serius menjalankan ibadah, Mas," jawab Zed. "Ditutup mungkin supaya tidak berisik mobil yang lewat dan klakson," Jawabnya saat saya bertanya mengapa dari kejauhan terlihat tidak banyak mobil yang parkir.
"Di sini gerejanya hampir tiap beberapa puluh meter sekali, dan yang datang biasanya warga di sekitarnya," Jelas Zed lagi. Ya mirip juga kalau di Jakarta, masjid pun dibangun berdekatan. Mungkin karena gereja tidak menggunakan panggilan azan dan jamnya tidak serentak, maka tidak terdengar terlalu ramai layaknya azan Subuh berkumandang di ibukota.
"Selain itu, nanti juga terlihat dari kembang apinya," Terusnya lagi. "Lah apa hubungannya sama kembang api?" Tanya saya heran.
"Ya kalau mendekati akhir tahun, maka seluruh perantau dari Toraja akan pulang kampung dan berkumpul. Tiba-tiba seluruh Toraja akan ramai. Dan dimulailah persaingan kembang api di pergantian tahun," Jawabnya sambil tertawa.
"Makin besar ukurannya, makin berisik suaranya, makin terang cahayanya, maka makin mahal harga kembang apinya, bahkan bisa sampai mencapai jutaan rupiah. Hahaha," Jelas Zed yang kemudian disalip Wardhana, "Dan yang paling penting juga, durasi kembang apinya."
Walaupun dari jauh yang terlihat hanya patung Yesus, namun saat sampai, kita bisa berkeliling, mencoba spot sayap yang instagrammable, lalu berjalan di atas kaca transparan, menatap ketinggian jurang di bawah.
Sambil berkeliling, kita juga bisa melihat bagian pinggang bukit yang diselimuti awan. Samar-samar di bawah, kita bisa melihat indahnya perumahan tradisional dan kebun-kebun warga. Sambil menikmati pemandangan, kami memesan opak khas Toraja. Mirip dengan opak di Jakarta, tapi di sini dibalur dengan gula merah sehingga jadi manis gurih.Â
Daerah yang cocok sebagai penghasil kopi ternikmat di nusantara. Dan mereka menikmati biji kopi yang dihasilkan sendiri. Hampir di seluruh pojok Toraja ada kafe yang dipenuhi anak-anak muda.
Bicara kuliner, Toraja mirip Toba. Banyak sekali masakan tidak halal seperti babi. Namun membedakan dan menemukan yang halal jauh lebih mudah. "Babi memang sumber penghasilan utama dari ternak dan harganya cukup tinggi karena diperlukan untuk upacara adat. Tapi nilai kerbau jauh lebih tinggi lagi. Dan banyak masakan Toraja dari daging kerbau," Jelas Senobawan saat menjelaskan kuliner Toraja.
Sebaliknya kalau putih pucat semua, kerbau tersebut dianggap pembawa sial dan penyakit." Saya bisa kagum. Beli kerbau untuk Idul Adha saja bukan main mahalnya terasa. Apalagi ini yang upacara adatnya bisa miliaran. Busyet..Â
"Mahalnya kerbau yang digunakan juga menentukan status sosial keluarga yang menyelenggarakan upacara," Jelas Senobawan lagi. "Nah kalau kerbau hitam yang bayak terlihat di upacara Toraja itu harganya yang kedua termahal. Namanya Tedong Pudu. Bisa kelasan ratusan juta. Tapi harus benar-benar terawat ya. Kerbaunya dipijat, dikasi telur, dimandikan tiap hari sehingga kulitnya bisa terilhat hitam bersih dan mengkilat,"
Luar biasa, pikir saya. Enak betul jadi kerbau di Toraja ini. Hidupnya lebih manja daripada kita yang buat cari sesuap nasi saja harus banting tulang dulu.
"Kerbau abu-abu ada di tingkatan ketiga tertinggi. Ini biasanya digunakan untuk upacara adat kematian. Harganya puluhan juta. Yang terendah barulah kerbau coklat biasa. Itu harganya sama seperti di Jawa."
Tapi saya harus meralat pemikiran bahwa di Toraja, bahwa hidup jadi kerbau itu enak. Sebab saat digunakan saat upacara, mereka harus menanggung derita saat upacara karena matinya perlahan, ditombak, bukannya disembelih.Â
Namun karena harus menghormati apapun budaya yang dianut oleh warga setempat, saya tentu tidak boleh mengungkapkan keprihatinan semacam itu di depan mereka. Penombakan dan pengorbanan seekor kerbau tentu punya nilai sakral tersendiri di mata mereka.
"Mirip rawon dong rasanya?" Tanya saya. "Nah ya betul! Mirip rawon kalau kita di Jakarta," Potong Zed.
"Tapi kalau di sini kaluwek yang digunakan bagian dalamnya, daging bijinya. Kalau luarnya malah dijadikan sayur," Tambah Senobawan. "Karena yang dipakai bagian dalam, maka warnanya jauh lebih hitam pekat dibanding rawon," Jelasnya lagi.
Saya coba sesuap. Memang jauh berbeda dengan rawon di Jakarta. Bisa dibilang masakan Toraja serba pekat, jauh lebih tajam rempahnya. Tapi ada satu yang membuat saya bertanya-tanya. Bukankah orang Timur terkenal dengan kuliner pedasnya? Mengapa saat kemarin saya baru mendarat dan diajak makan Coto di Makassar, bahkan terasa jauh lebih manis dan berlemak dibanding Soto Betawi ya?
"Oh.. ya, Mas belum coba cabe dan sambal khas sini. Di situlah letak pedasnya yang super!" Seru Zed. "Oh ya.. Katokkon itu," Sahut Wardhana tertawa-tawa.
"SHU itu Schoville Heat Unit, ukuran kepedasan" Saya menerangkan. "Cabe rawit biasa nilai kepedasannya 250 ribuan SHU. Paprika 0 SHU. Nah kalau katokkon 600 ribu, hebat juga berarti ya, tiga hingga empat kali lebih pedas!" Seru saya. Carolina Reaper, Bhut Jolokia, dan Scorpion Trinidad ada di barisan teratas, di atas 1 juta SHU. Jadi cabe ini tergolong sangat pedas, walaupun bukan terpedas sedunia, namun setidaknya salah satu cabe terpedas yang bisa dihasilkan Indonesia.
Saya bertanya di mana bisa menemukan katokkkon saat pulang nanti, karena memutuskan akan pulang sendirian ke Makassar. "Cari saja di pasar tradisional di Rantepao, banyak kok," Terang Zed.
Lepas dari mengajar di Hotel Pantan Makale, keesokan harinya hingga waktunya check out, saya masih diajak berkeliling. Namun setelah check out, saya menolak dengan halus ajakan mereka untuk terus menikmati Toraja dan Toraja Utara. "Saya penulis dan harus bereksplorasi sendiri, menemukan sudut pandang sendiri soal Toraja.Â
Jalan-jalan menelusuri Kabupaten ini sendirian, tidak perlu diguide terus," saya tersenyum mendengar mereka masih ingin ramai-ramai berjalan. Prinsipnya dalam sebuah petualangan adalah "If you want to travel fast, you have to travel alone. If you want to travel far, travel together."
Nah saya membutuhkan jalan cepat sendirian agar bisa sesegera mungkin menjelajahi keindahan alam dan kuliner Toraja yang katanya sarat dengan hawa kematian itu. Tentu saja teman-teman di Toraja sangat ramah dan mau mengantar ke mana saja. Tapi ada sesuatu yang hanya bisa saya temukan kala berjalan sebagai seorang petualang, sendirian.
Contohnya adalah kapurung, yang ternyata mirip papeda di Papua. Tapi agak berbeda penyajiannya, walaupun sama-sama berbahan dasar sagu yang dicairkan dan dibuat kental dan transparan. Kapurung disajikan dalam potongan-potongan bulat kecil, sehingga untuk memakannya tidak serepot papeda yang harus digulung dulu dengan semacam sumpit.
Ditambahi lagi dengan sambalnya yang pedas. Nah.. inilah kepedasan ala masakan timur Indonesia yang saya cari-cari dari kemarin. Cukup sesendok kecil, saya sudah beruwah-uwah sampai suapan terakhir. Sedap betul!
Setelah beberapa saat berjalan sendiri, saya merasa bahwa banyak aura positif dan inspiratif kok di Toraja. Termasuk menikmati senja di tepian kebun, dengan sinar mentari mengintip malu-malu di balik perbukitan. Toraja tak selamanya menyimpan aura mengerikan.
Tapi memang terus terang transportasi di Toraja memang agak menyulitkan, apalagi di sekitar Toraja Utara. "Di sini paling-paling gojek itu populasinya tujuh orang," Pesan Zed tertawa, sebelum saya benar-benar berpisah. Jadi saya harus mengandalkan berjalan kaki atau menumpang mobil warga yang juga hendak ke Rantepao.
Dan di sinilah saya melihat kejujuran dan kebaikan hati warga sekitar. Saat kebingungan mencari angkutan umum ke Rantepao, seorang laki-laki mendekati saya. "Hendak ke manakah?" Saya menjawab ingin ke ibukota. "Sudah saya antar saja. Ganti saja nanti bensinnya," katanya menawarkan saya ke penginapan terdekat di Rantepao.
Terus terang berjalan sendirian di negeri orang, menaiki mobil warga sekitar membuat saya deg-degan. Apalagi tas saya penuh gadget. Bisa berabe kalau apes mendapat tumpangan penjahat.Â
Tapi ternyata orangnya ramah sekali dan bisa diajak ngobrol mengenai Toraja. 'Kalau detailnya saya kurang tahu karena aslinya saya dari Makassar. Tapi kalau mau lihat-lihat tempat wisata, boleh bermain ke sekitar Makale," Infonya.
Sebagai info, Toraja telah mengalami pemekaran sejak 2008. Sebagian wilayah di Utara menjadi Kabupaten tersendiri bernama Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Sementara Toraja sendiri tetap dengan ibukota Makale.
Setelah sampai di hotel, saya mengucapkan kepada supir dadakan yang ternyata bernama Bayu. "Catat saja no WA saya. Nanti kalau perlu cari mobil atau butuh beli mobil bekas untuk berkeliling Sulawesi, bisa saya carikan ke seluruh keluarga dan kenalan."
Benar-benar ramah orang Toraja. Sehingga banyak sekali yang bisa saya ceritakan soal Toraja, selain wisata kematian alias pemakaman alias ma'nene, yang akan saya lanjutkan kembali di cerita berikutnya. Â
Kumainkan untukmu
sebuah lagu,Â
tentang negeri di awan
di mana kedamaian
menjadi istananyaÂ
dan kini tengah kau bawa
aku menuju ke sana.
Iringan  lagu Katon Bagaskara mengiringi saya menyelesaikan tulisan ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H