Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Toraja, Tak Selamanya Soal Upacara Kematian

13 Oktober 2019   23:56 Diperbarui: 14 Oktober 2019   00:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalian itu coba kembangkanlah wisata lain, jangan jualan kematian terus. Banyak potensi Toraja yang bisa digarap," Kata teman saya, Zed Parenta, menirukan sindiran Jusuf Kalla saat berkunjung ke Negeri di Awan, Toraja Utara. Entah benar Jusuf Kalla menyebutkan gurauan itu atau tidak, saya tidak tahu. 

Tapi kalau dipikir-pikir ya benar juga, selama ini kita mengenal Toraja dari upacara kematiannya. Yang sensasional tentu saat upacara memapah jenazah yang sudah tersimpan bertahun-tahun lamanya ke tempat peristirahatan terakhir.

Rumah Adat Toraja, Dokpri
Rumah Adat Toraja, Dokpri
Bangunan-bangunan di Toraja memang cenderung berwarna gelap suram, didominasi warna coklat dan hitam. Sepanjang perjalanan, saya bahkan melihat ada bangunan kecil tanpa pintu depan, hanya jendela kecil. "Itu namanya Patane, Mas Har. 

Tempat persemayaman jenazah keluarga. Biasanya ada banyak di situ, lima sampai enam jenazah," Jelas Wardhana Sello Parenta, Direktur Utama Axelle yang hari sebelumnya sudah berbaik hati mengundang saya ke pelatihan bersama antara karyawan PT Axelle dengan Suara Relawan Muda, dan dimeriahkan pula oleh para bro dan sis kader PSI Toraja.

Patane, dokpri
Patane, dokpri
"Kalau masalah budaya Toraja, tanyakan ke Bro Rigel Senobawan Manga, dia ahlinya budaya Toraja dari luar sampe dalam, dikupas tuntas!" Kata Zed berusaha mempromosikan temannya. 

Memang Senobawan adalah aktivis politik, sosial, dan budaya yang sangat mencintai negerinya. "Sudah kerja keliling Indonesia, punya anak istri di Jakarta, tapi dia tetap lebih memilih kerja dan berbuat sesuatu untuk kampungnya, Toraja. Ia cukup aktif berorganisasi dan berpolitik di daerah asalnya.

Tapi lagi-lagi soal cap soal wisata kematian di Toraja, bukan berarti tidak ada keindahan lain yang tersimpan di dalamnya, misalnya ya soal Negeri di Atas Awan itu.

Negeri di Atas Awan To Tombi, Dokpri
Negeri di Atas Awan To Tombi, Dokpri
Ada beberapa spot untuk menikmati awan yang berkumpul di bawah kaki kita, tapi katanya yang terbaik adalah di Lolai. Sayang pagi itu kami tidak sampai ke puncaknya. Hanya sekitaran To'Tombi, karena hujan keburu mengguyur sedari pagi. 

Sehingga bukannya pemandangan yang indah, yang ada malah kabut tebal yang menghalangi pandangan secara total. Belum lagi guyuran air dingin yang menusuk sampai tulang. Saya menggigil di perjalanan karena hanya memakai kaos. "Harusnya bawa jaket, mas," Saran Zed. Tapi mbuh ya sudah terlanjur.

"Ayo kita ke Patung Yesus saja," Ajak Wardhana. "Tadi saya telepon teman yang lain katanya di sana hujannya sudah berhenti." Nah kalau yang ini saya semangat. Karena sepanjang perjalanan ke sana memang terlihat perlahan hujannya mulai kering. Menjelang naik, kami harus sedikit berputar, karena ada jalan yang ditutup karena acara gereja.

"Kalau soal agama begini, tidak di Jakarta, tidak di Toraja, mau Islam atau Kristen, mau kebaktian, mau pengajian,  tampaknya sama saja ya, nutup jalan," komentar saya sambil tertawa-tawa.

"Oh iya, di sini memang orang sangat serius menjalankan ibadah, Mas," jawab Zed. "Ditutup mungkin supaya tidak berisik mobil yang lewat dan klakson," Jawabnya saat saya bertanya mengapa dari kejauhan terlihat tidak banyak mobil yang parkir.

"Di sini gerejanya hampir tiap beberapa puluh meter sekali, dan yang datang biasanya warga di sekitarnya," Jelas Zed lagi. Ya mirip juga kalau di Jakarta, masjid pun dibangun berdekatan. Mungkin karena gereja tidak menggunakan panggilan azan dan jamnya tidak serentak, maka tidak terdengar terlalu ramai layaknya azan Subuh berkumandang di ibukota.

dokpri
dokpri
"Tanduk dan tengkorak kerbau di rumah adat itu berarti semacam status sosial dan kebanggaan. Semakin bertumpuk ke atas, semakin sering keluarga pemilik rumah tersebut mengadakan pesta dan perundingan adat," Jelas Zed lagi saat kami berhenti di salah satu rumah.

"Selain itu, nanti juga terlihat dari kembang apinya," Terusnya lagi. "Lah apa hubungannya sama kembang api?" Tanya saya heran.

"Ya kalau mendekati akhir tahun, maka seluruh perantau dari Toraja akan pulang kampung dan berkumpul. Tiba-tiba seluruh Toraja akan ramai. Dan dimulailah persaingan kembang api di pergantian tahun," Jawabnya sambil tertawa.

"Makin besar ukurannya, makin berisik suaranya, makin terang cahayanya, maka makin mahal harga kembang apinya, bahkan bisa sampai mencapai jutaan rupiah. Hahaha," Jelas Zed yang kemudian disalip Wardhana, "Dan yang paling penting juga, durasi kembang apinya."

jesus-5da351a2097f367f5731e552.jpg
jesus-5da351a2097f367f5731e552.jpg
Sesampai ke puncak Bukit Buntu Burake, tempat Patung Yesus, barulah saya terpana. Wisata di sini diatur sangat rapi, terlepas dari kios-kios oleh-oleh warga yang baru berupa bangunan non permanen dengan bahan kayu dan papan. 

Walaupun dari jauh yang terlihat hanya patung Yesus, namun saat sampai, kita bisa berkeliling, mencoba spot sayap yang instagrammable, lalu berjalan di atas kaca transparan, menatap ketinggian jurang di bawah.

Sambil berkeliling, kita juga bisa melihat bagian pinggang bukit yang diselimuti awan. Samar-samar di bawah, kita bisa melihat indahnya perumahan tradisional dan kebun-kebun warga. Sambil menikmati pemandangan, kami memesan opak khas Toraja. Mirip dengan opak di Jakarta, tapi di sini dibalur dengan gula merah sehingga jadi manis gurih. 

Opak Toraja, dokpri
Opak Toraja, dokpri
"Tanah di sini cenderung cadas dan berbatu, jadi di Toraja jarang ada sawah, hanya beberapa. Sisanya tanaman keras seperti kopi." Jelas Zed.

negeri-di-awan-2-5da352e2097f365f04163154.jpg
negeri-di-awan-2-5da352e2097f365f04163154.jpg
Saya jadi paham mengapa kopi dari Toraja begitu enaknya. Daerah ini adalah salah satu titik tertinggi di Sulawesi. Cahaya mataharinya cukup banyak karena tidak dinaungi pepohonan, namun sekaligus tidak terlalu terik karena hembusan angin dari gunung semilir namun cukup menusuk hingga membuat kita menggigil. 

Daerah yang cocok sebagai penghasil kopi ternikmat di nusantara. Dan mereka menikmati biji kopi yang dihasilkan sendiri. Hampir di seluruh pojok Toraja ada kafe yang dipenuhi anak-anak muda.

Bicara kuliner, Toraja mirip Toba. Banyak sekali masakan tidak halal seperti babi. Namun membedakan dan menemukan yang halal jauh lebih mudah. "Babi memang sumber penghasilan utama dari ternak dan harganya cukup tinggi karena diperlukan untuk upacara adat. Tapi nilai kerbau jauh lebih tinggi lagi. Dan banyak masakan Toraja dari daging kerbau," Jelas Senobawan saat menjelaskan kuliner Toraja.

Kerbau Hitam, Toraja
Kerbau Hitam, Toraja
"Di Toraja, kerbau itu punya kelas," Lanjutnya. "Yang belang albino dan gemuk kekar, itu kasta kerbau tertinggi, namanya Tedong Saleko, harganya bisa miliaran. Tapi tentu juga tidak asal belang. Ada kriteria belang di tempat tertentu di sekitar badannya yang menentukan harganya. Selain itu matanya juga harus albino. 

Sebaliknya kalau putih pucat semua, kerbau tersebut dianggap pembawa sial dan penyakit." Saya bisa kagum. Beli kerbau untuk Idul Adha saja bukan main mahalnya terasa. Apalagi ini yang upacara adatnya bisa miliaran. Busyet.. 

"Mahalnya kerbau yang digunakan juga menentukan status sosial keluarga yang menyelenggarakan upacara," Jelas Senobawan lagi. "Nah kalau kerbau hitam yang bayak terlihat di upacara Toraja itu harganya yang kedua termahal. Namanya Tedong Pudu. Bisa kelasan ratusan juta. Tapi harus benar-benar terawat ya. Kerbaunya dipijat, dikasi telur, dimandikan tiap hari sehingga kulitnya bisa terilhat hitam bersih dan mengkilat,"

Luar biasa, pikir saya. Enak betul jadi kerbau di Toraja ini. Hidupnya lebih manja daripada kita yang buat cari sesuap nasi saja harus banting tulang dulu.

"Kerbau abu-abu ada di tingkatan ketiga tertinggi. Ini biasanya digunakan untuk upacara adat kematian. Harganya puluhan juta. Yang terendah barulah kerbau coklat biasa. Itu harganya sama seperti di Jawa."

Tapi saya harus meralat pemikiran bahwa di Toraja, bahwa hidup jadi kerbau itu enak. Sebab saat digunakan saat upacara, mereka harus menanggung derita saat upacara karena matinya perlahan, ditombak, bukannya disembelih. 

Namun karena harus menghormati apapun budaya yang dianut oleh warga setempat, saya tentu tidak boleh mengungkapkan keprihatinan semacam itu di depan mereka. Penombakan dan pengorbanan seekor kerbau tentu punya nilai sakral tersendiri di mata mereka.

Pamerasan kerbau, dokpri
Pamerasan kerbau, dokpri
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar oleh Senobawan, saya melanjutkan memesan pamerasan kerbau di Caf Arras 2 di Jl. Andi Mappanyukki, Rante Pao. "Pamerasan itu dibuat dari bumbu kaluwak," Jelas Senobawan lagi.

"Mirip rawon dong rasanya?" Tanya saya. "Nah ya betul! Mirip rawon kalau kita di Jakarta," Potong Zed.

"Tapi kalau di sini kaluwek yang digunakan bagian dalamnya, daging bijinya. Kalau luarnya malah dijadikan sayur," Tambah Senobawan. "Karena yang dipakai bagian dalam, maka warnanya jauh lebih hitam pekat dibanding rawon," Jelasnya lagi.

Saya coba sesuap. Memang jauh berbeda dengan rawon di Jakarta. Bisa dibilang masakan Toraja serba pekat, jauh lebih tajam rempahnya. Tapi ada satu yang membuat saya bertanya-tanya. Bukankah orang Timur terkenal dengan kuliner pedasnya? Mengapa saat kemarin saya baru mendarat dan diajak makan Coto di Makassar, bahkan terasa jauh lebih manis dan berlemak dibanding Soto Betawi ya?

"Oh.. ya, Mas belum coba cabe dan sambal khas sini. Di situlah letak pedasnya yang super!" Seru Zed. "Oh ya.. Katokkon itu," Sahut Wardhana tertawa-tawa.

Cabe Katokkon dari Kompasiana, user Eunike Pakiding. Diupload hanya untuk informasi
Cabe Katokkon dari Kompasiana, user Eunike Pakiding. Diupload hanya untuk informasi
Zed kemudian menjelaskan bahwa Katokkon adalah salah satu cabe sangat pedas. "Bentuknya mirip paprika merah atau orange, tapi kecil. Dipakai untuk membuat sambal, sekitar 600 ribu SHU," Yang langsung disambar Wardhana, "Apa itu SHU?"

"SHU itu Schoville Heat Unit, ukuran kepedasan" Saya menerangkan. "Cabe rawit biasa nilai kepedasannya 250 ribuan SHU. Paprika 0 SHU. Nah kalau katokkon 600 ribu, hebat juga berarti ya, tiga hingga empat kali lebih pedas!" Seru saya. Carolina Reaper, Bhut Jolokia, dan Scorpion Trinidad ada di barisan teratas, di atas 1 juta SHU. Jadi cabe ini tergolong sangat pedas, walaupun bukan terpedas sedunia, namun setidaknya salah satu cabe terpedas yang bisa dihasilkan Indonesia.

Saya bertanya di mana bisa menemukan katokkkon saat pulang nanti, karena memutuskan akan pulang sendirian ke Makassar. "Cari saja di pasar tradisional di Rantepao, banyak kok," Terang Zed.

Lepas dari mengajar di Hotel Pantan Makale, keesokan harinya hingga waktunya check out, saya masih diajak berkeliling. Namun setelah check out, saya menolak dengan halus ajakan mereka untuk terus menikmati Toraja dan Toraja Utara. "Saya penulis dan harus bereksplorasi sendiri, menemukan sudut pandang sendiri soal Toraja. 

Jalan-jalan menelusuri Kabupaten ini sendirian, tidak perlu diguide terus," saya tersenyum mendengar mereka masih ingin ramai-ramai berjalan. Prinsipnya dalam sebuah petualangan adalah "If you want to travel fast, you have to travel alone. If you want to travel far, travel together."

Nah saya membutuhkan jalan cepat sendirian agar bisa sesegera mungkin menjelajahi keindahan alam dan kuliner Toraja yang katanya sarat dengan hawa kematian itu. Tentu saja teman-teman di Toraja sangat ramah dan mau mengantar ke mana saja. Tapi ada sesuatu yang hanya bisa saya temukan kala berjalan sebagai seorang petualang, sendirian.

Contohnya adalah kapurung, yang ternyata mirip papeda di Papua. Tapi agak berbeda penyajiannya, walaupun sama-sama berbahan dasar sagu yang dicairkan dan dibuat kental dan transparan. Kapurung disajikan dalam potongan-potongan bulat kecil, sehingga untuk memakannya tidak serepot papeda yang harus digulung dulu dengan semacam sumpit.

Kapurung, dokpri
Kapurung, dokpri
Kapurung tidak disajikan dengan disiram ikan kuah kuning, karena kuah kuning justru sudah jadi bagian yang menyatu dengan sagunya. Ikannya disajikan dalam bentuk serpihan-serpihan kecil dan ditambahi potongan kacang dan bawang. 

Ditambahi lagi dengan sambalnya yang pedas. Nah.. inilah kepedasan ala masakan timur Indonesia yang saya cari-cari dari kemarin. Cukup sesendok kecil, saya sudah beruwah-uwah sampai suapan terakhir. Sedap betul!

Setelah beberapa saat berjalan sendiri, saya merasa bahwa banyak aura positif dan inspiratif kok di Toraja. Termasuk menikmati senja di tepian kebun, dengan sinar mentari mengintip malu-malu di balik perbukitan. Toraja tak selamanya menyimpan aura mengerikan.

Tapi memang terus terang transportasi di Toraja memang agak menyulitkan, apalagi di sekitar Toraja Utara. "Di sini paling-paling gojek itu populasinya tujuh orang," Pesan Zed tertawa, sebelum saya benar-benar berpisah. Jadi saya harus mengandalkan berjalan kaki atau menumpang mobil warga yang juga hendak ke Rantepao.

Dan di sinilah saya melihat kejujuran dan kebaikan hati warga sekitar. Saat kebingungan mencari angkutan umum ke Rantepao, seorang laki-laki mendekati saya. "Hendak ke manakah?" Saya menjawab ingin ke ibukota. "Sudah saya antar saja. Ganti saja nanti bensinnya," katanya menawarkan saya ke penginapan terdekat di Rantepao.

Terus terang berjalan sendirian di negeri orang, menaiki mobil warga sekitar membuat saya deg-degan. Apalagi tas saya penuh gadget. Bisa berabe kalau apes mendapat tumpangan penjahat. 

Tapi ternyata orangnya ramah sekali dan bisa diajak ngobrol mengenai Toraja. 'Kalau detailnya saya kurang tahu karena aslinya saya dari Makassar. Tapi kalau mau lihat-lihat tempat wisata, boleh bermain ke sekitar Makale," Infonya.

Sebagai info, Toraja telah mengalami pemekaran sejak 2008. Sebagian wilayah di Utara menjadi Kabupaten tersendiri bernama Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Sementara Toraja sendiri tetap dengan ibukota Makale.

Setelah sampai di hotel, saya mengucapkan kepada supir dadakan yang ternyata bernama Bayu. "Catat saja no WA saya. Nanti kalau perlu cari mobil atau butuh beli mobil bekas untuk berkeliling Sulawesi, bisa saya carikan ke seluruh keluarga dan kenalan."

Benar-benar ramah orang Toraja. Sehingga banyak sekali yang bisa saya ceritakan soal Toraja, selain wisata kematian alias pemakaman alias ma'nene, yang akan saya lanjutkan kembali di cerita berikutnya.  

Pemandangan di Bukit Buntu, dokpri
Pemandangan di Bukit Buntu, dokpri

Kumainkan untukmu

sebuah lagu, 

tentang negeri di awan

di mana kedamaian

menjadi istananya 

dan kini tengah kau bawa

aku menuju ke sana.

Iringan  lagu Katon Bagaskara mengiringi saya menyelesaikan tulisan ini...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun