"Tapi kalau di sini kaluwek yang digunakan bagian dalamnya, daging bijinya. Kalau luarnya malah dijadikan sayur," Tambah Senobawan. "Karena yang dipakai bagian dalam, maka warnanya jauh lebih hitam pekat dibanding rawon," Jelasnya lagi.
Saya coba sesuap. Memang jauh berbeda dengan rawon di Jakarta. Bisa dibilang masakan Toraja serba pekat, jauh lebih tajam rempahnya. Tapi ada satu yang membuat saya bertanya-tanya. Bukankah orang Timur terkenal dengan kuliner pedasnya? Mengapa saat kemarin saya baru mendarat dan diajak makan Coto di Makassar, bahkan terasa jauh lebih manis dan berlemak dibanding Soto Betawi ya?
"Oh.. ya, Mas belum coba cabe dan sambal khas sini. Di situlah letak pedasnya yang super!" Seru Zed. "Oh ya.. Katokkon itu," Sahut Wardhana tertawa-tawa.
"SHU itu Schoville Heat Unit, ukuran kepedasan" Saya menerangkan. "Cabe rawit biasa nilai kepedasannya 250 ribuan SHU. Paprika 0 SHU. Nah kalau katokkon 600 ribu, hebat juga berarti ya, tiga hingga empat kali lebih pedas!" Seru saya. Carolina Reaper, Bhut Jolokia, dan Scorpion Trinidad ada di barisan teratas, di atas 1 juta SHU. Jadi cabe ini tergolong sangat pedas, walaupun bukan terpedas sedunia, namun setidaknya salah satu cabe terpedas yang bisa dihasilkan Indonesia.
Saya bertanya di mana bisa menemukan katokkkon saat pulang nanti, karena memutuskan akan pulang sendirian ke Makassar. "Cari saja di pasar tradisional di Rantepao, banyak kok," Terang Zed.
Lepas dari mengajar di Hotel Pantan Makale, keesokan harinya hingga waktunya check out, saya masih diajak berkeliling. Namun setelah check out, saya menolak dengan halus ajakan mereka untuk terus menikmati Toraja dan Toraja Utara. "Saya penulis dan harus bereksplorasi sendiri, menemukan sudut pandang sendiri soal Toraja.Â
Jalan-jalan menelusuri Kabupaten ini sendirian, tidak perlu diguide terus," saya tersenyum mendengar mereka masih ingin ramai-ramai berjalan. Prinsipnya dalam sebuah petualangan adalah "If you want to travel fast, you have to travel alone. If you want to travel far, travel together."
Nah saya membutuhkan jalan cepat sendirian agar bisa sesegera mungkin menjelajahi keindahan alam dan kuliner Toraja yang katanya sarat dengan hawa kematian itu. Tentu saja teman-teman di Toraja sangat ramah dan mau mengantar ke mana saja. Tapi ada sesuatu yang hanya bisa saya temukan kala berjalan sebagai seorang petualang, sendirian.
Contohnya adalah kapurung, yang ternyata mirip papeda di Papua. Tapi agak berbeda penyajiannya, walaupun sama-sama berbahan dasar sagu yang dicairkan dan dibuat kental dan transparan. Kapurung disajikan dalam potongan-potongan bulat kecil, sehingga untuk memakannya tidak serepot papeda yang harus digulung dulu dengan semacam sumpit.