Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Toraja, Tak Selamanya Soal Upacara Kematian

13 Oktober 2019   23:56 Diperbarui: 14 Oktober 2019   00:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daerah yang cocok sebagai penghasil kopi ternikmat di nusantara. Dan mereka menikmati biji kopi yang dihasilkan sendiri. Hampir di seluruh pojok Toraja ada kafe yang dipenuhi anak-anak muda.

Bicara kuliner, Toraja mirip Toba. Banyak sekali masakan tidak halal seperti babi. Namun membedakan dan menemukan yang halal jauh lebih mudah. "Babi memang sumber penghasilan utama dari ternak dan harganya cukup tinggi karena diperlukan untuk upacara adat. Tapi nilai kerbau jauh lebih tinggi lagi. Dan banyak masakan Toraja dari daging kerbau," Jelas Senobawan saat menjelaskan kuliner Toraja.

Kerbau Hitam, Toraja
Kerbau Hitam, Toraja
"Di Toraja, kerbau itu punya kelas," Lanjutnya. "Yang belang albino dan gemuk kekar, itu kasta kerbau tertinggi, namanya Tedong Saleko, harganya bisa miliaran. Tapi tentu juga tidak asal belang. Ada kriteria belang di tempat tertentu di sekitar badannya yang menentukan harganya. Selain itu matanya juga harus albino. 

Sebaliknya kalau putih pucat semua, kerbau tersebut dianggap pembawa sial dan penyakit." Saya bisa kagum. Beli kerbau untuk Idul Adha saja bukan main mahalnya terasa. Apalagi ini yang upacara adatnya bisa miliaran. Busyet.. 

"Mahalnya kerbau yang digunakan juga menentukan status sosial keluarga yang menyelenggarakan upacara," Jelas Senobawan lagi. "Nah kalau kerbau hitam yang bayak terlihat di upacara Toraja itu harganya yang kedua termahal. Namanya Tedong Pudu. Bisa kelasan ratusan juta. Tapi harus benar-benar terawat ya. Kerbaunya dipijat, dikasi telur, dimandikan tiap hari sehingga kulitnya bisa terilhat hitam bersih dan mengkilat,"

Luar biasa, pikir saya. Enak betul jadi kerbau di Toraja ini. Hidupnya lebih manja daripada kita yang buat cari sesuap nasi saja harus banting tulang dulu.

"Kerbau abu-abu ada di tingkatan ketiga tertinggi. Ini biasanya digunakan untuk upacara adat kematian. Harganya puluhan juta. Yang terendah barulah kerbau coklat biasa. Itu harganya sama seperti di Jawa."

Tapi saya harus meralat pemikiran bahwa di Toraja, bahwa hidup jadi kerbau itu enak. Sebab saat digunakan saat upacara, mereka harus menanggung derita saat upacara karena matinya perlahan, ditombak, bukannya disembelih. 

Namun karena harus menghormati apapun budaya yang dianut oleh warga setempat, saya tentu tidak boleh mengungkapkan keprihatinan semacam itu di depan mereka. Penombakan dan pengorbanan seekor kerbau tentu punya nilai sakral tersendiri di mata mereka.

Pamerasan kerbau, dokpri
Pamerasan kerbau, dokpri
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar oleh Senobawan, saya melanjutkan memesan pamerasan kerbau di Caf Arras 2 di Jl. Andi Mappanyukki, Rante Pao. "Pamerasan itu dibuat dari bumbu kaluwak," Jelas Senobawan lagi.

"Mirip rawon dong rasanya?" Tanya saya. "Nah ya betul! Mirip rawon kalau kita di Jakarta," Potong Zed.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun