"Oh iya, di sini memang orang sangat serius menjalankan ibadah, Mas," jawab Zed. "Ditutup mungkin supaya tidak berisik mobil yang lewat dan klakson," Jawabnya saat saya bertanya mengapa dari kejauhan terlihat tidak banyak mobil yang parkir.
"Di sini gerejanya hampir tiap beberapa puluh meter sekali, dan yang datang biasanya warga di sekitarnya," Jelas Zed lagi. Ya mirip juga kalau di Jakarta, masjid pun dibangun berdekatan. Mungkin karena gereja tidak menggunakan panggilan azan dan jamnya tidak serentak, maka tidak terdengar terlalu ramai layaknya azan Subuh berkumandang di ibukota.
"Selain itu, nanti juga terlihat dari kembang apinya," Terusnya lagi. "Lah apa hubungannya sama kembang api?" Tanya saya heran.
"Ya kalau mendekati akhir tahun, maka seluruh perantau dari Toraja akan pulang kampung dan berkumpul. Tiba-tiba seluruh Toraja akan ramai. Dan dimulailah persaingan kembang api di pergantian tahun," Jawabnya sambil tertawa.
"Makin besar ukurannya, makin berisik suaranya, makin terang cahayanya, maka makin mahal harga kembang apinya, bahkan bisa sampai mencapai jutaan rupiah. Hahaha," Jelas Zed yang kemudian disalip Wardhana, "Dan yang paling penting juga, durasi kembang apinya."
Walaupun dari jauh yang terlihat hanya patung Yesus, namun saat sampai, kita bisa berkeliling, mencoba spot sayap yang instagrammable, lalu berjalan di atas kaca transparan, menatap ketinggian jurang di bawah.
Sambil berkeliling, kita juga bisa melihat bagian pinggang bukit yang diselimuti awan. Samar-samar di bawah, kita bisa melihat indahnya perumahan tradisional dan kebun-kebun warga. Sambil menikmati pemandangan, kami memesan opak khas Toraja. Mirip dengan opak di Jakarta, tapi di sini dibalur dengan gula merah sehingga jadi manis gurih.Â