Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangisi Ketidakpahaman Jurnalis Kita Soal Buzzer

5 Oktober 2019   18:29 Diperbarui: 11 Oktober 2019   22:47 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembentukan opini sah-sah saja dalam industri komunikasi, terutama advertising. Dulu, saat informasi dikuasai oleh media berita, peran ini dikuasai oleh media seorang diri, tanpa ada yang bisa mengimbangi, karena memang sifatnya masih satu arah (one way communiation). 

Tapi kalau kita mau jujur, endorsemenet juga sudah dilakukan sejak lama oleh para selebriti dengan menjalankan kegiatan yang bernama endorsement. Bisa ga politikus atau partai diendorse? Lah sejak kapan juga ada kode etik selebriti yang melarangnya?

Ada yang namanya personal brand dalam marketing. Orang marketing dan ahli brand saja mengakui. Lalu kenapa tidak boleh brand jenis ini dijual lewat bantuan jasa orang lain?

Dosakah hidup seperti itu? Menjual opini untuk sesuap nasi? Lah ya namanya freelancer, tidak menggantungkan dirinya kepada perusahaan atau media tertentu. Kenapa juga harus, seperti kata Tempo, DITERTIBKAN? Salah mereka apa?

Nah para buzzer ini juga semacam selebriti mini. Mereka hanya dikenal di lingkungannya, sehingga followernya ga akan jutaan seperti mereka yang wara-wiri di TV. 

Ceruk mereka kecil, tapi kalau yang direkrut oleh agency buzzer-buzzer dalam jumlah banyak, bisa jadi hitunganya lebih efisien daripada menyewa pembentukan opini para artis.

Salah? Sekali lagi. di mana letak salahnya? Kan mereka tidak digaji oleh perusahaan layaknya wartawan. Mereka ga hidup jadi karyawan. Maka ya bebas aja dia mau ngapain, selagi itu tidak melanggar hukum.

Kan mereka tidak menghasut orang lain supaya berbuat kriminal? Yang mereka lakukan hanyalah mengarahkan opini. Sebagian ada yang menjualnya demi uang. Ada pula yang sekedar gandrung sama politikus tertentu, lalu bekerja mendengungkannya secara tak berbayar.

Yang berbayar juga ada dua, ada yang terang-terangan deklarasi kalau dirinya siap membentuk opini berbayar, ada yang pura-pura ga dibayar, tapi di belakang terima amplop juga.

Yang tak berbayar? Inilah para relawan media sosial. Tapi apakah benar mereka dibayar atau tidak, sebenarnya kan hanya bisa kita ketahui melalui pengakuan. Tidak bisa pula kita telan mentah-mentah pengakuannya. Seperti pernah saya bilang di acara debat melawan Mustofa Nahra di OpiniID.

"Mengidentifikasi opini berbayar itu sama susahnya dengan mencari siapa yang kentut. Siapapun yang ditanya kentut, ga akan ada yang mau ngaku. Tapi kita sadar bahwa memang kehadiran orang yang kentut itu ada, dari kemunculan baunya dan suaranya yang nyaring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun