Teman sekaligus kolega bisnis saya nanya, "Mas Har, itu gimana situasi terkini soal buzzer-buzzer politik yang saling serang soal bayar-membayar opini?"
Saya senyum, si mba cantik yang namanya saya tutupi ini pasti baca kisahnya dari Tempo, yang memang sedang sibuk mengangkat narasi buzzer berbayar.Â
Saya jadi ingat, dulu pernah berbincang dengan beberapa SJW, kebanyakan wartawan, yang sibuk teriak bojar bajer bojar bajer.
Sebenarnya intinya hanyalah iri hati karena dulu pekerjaan menciptakan opini berbayar itu dimonopoli oleh wartawan bodrex dan wartawan jale, orang-orang yang menciptakan berita dengan imbalan tertentu.Â
Ini rahasia umum dalam dunia kewartawanan kita, beneran terjadi kok, walaupun mungkin ada beberapa yang akan mati-matian membantahnya
Kenapa wartawan harus dilarang? Karena mereka membawa kebanggaan media tempatnya bekerja.
Mau jalan ke sana ke mari mencari narasumber, masukin tulisan digaji, mau request wawancara, dengan bangga tunjukkan kartu pers dengan logo kantor berita tempat mereka bernaung, hidup nyaman dengan perlindungan asuransi dan pensiun.Â
Masa iya masih juga menjual opininya yang sebenarnya sudah "dibeli" secara bulanan oleh tempat mereka bekerja?
Sekarang, dengan mudahnya semua orang memposting informasi via media sosial, fungsi itu diambil alih paid blogger dan paid buzzer, karena memang tidak ada larangannya.Â
Semua blogger dan buzzer biasanya hidup hanya untuk diri mereka sendiri, tak ada yang menanggung kesejahteraan mereka.
Paling-paling kalau dia agak seleb dikit, maka akan ada manajemennya. Tapi dia tidak bertanggung jawab kepada perusahaan atau asosiasi tertentu. Hidupnya ga pernah ada jaminan, hari ini akan makan atau ga, sesuai pesanan saja.