"Kalau warga? Keberatan tidak?" Desak saya lagi.
Mbah San orang yang sangat hati-hati dan lambat berbicara, memilih dan memilah makna. Tapi kemudian dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali, "Warga di sini aman dan tentram. Kami menghormati satu sama lain.
Saya tidak tahu kalau ditanya satu per satu, tapi saya rasa semua akan baik-baik saja. Asal sebelumnya berunding dulu saja. Itulah gunanya kita hidup bermasyarakat kan? Semuanya dibicarakan dan disepakati bersama."
Sambil duduk setengah bersila di tengah bangku saya, dia melanjutkan ceritanya tentang bagaimana rukunnya hidup di daerah ini, sampai akhirnya orang luar dan wartawan mengusik dengan kehebohan tersebut.
"Sekali lagi saya tidak tahu. Tapi mungkin anak-anak muda, yang gairah beragamanya masih terlalu kuat, mengalahkan kebijaksanaan di dalam dirinya. Kami-kami yang sudah tua tentu tidak akan setega itu melakukannya, walau andai ada satu atau dua yang juga tidak setuju dengan bentuk nisan seperti itu." Jawab Mbah San masih menghela napas.
"Ada Islam garis keras di sini yang katanya ikut-ikutan?"
"Dulu.. dulu ada beberapa pengajian seperti itu di sini. Tapi dulu, saat pemerintah masih lunak terhadap gerakan-gerakan garis keras. Sekarang sudah hilang. Lihat saja tidak ada kan pengajian seperti itu tadi di dalam kompleks."
Ya, saya memang gagal menemukan ciri-ciri penganut garis keras di sekitar perumahan sini. Tidak terlihat ada yang celananya cingkrang, janggut tebal, atau perempuan yang tenggelam alam jubah hitam dan cadar. Semua berpakaian biasa-biasa saja.
Dari musala di sebelah kedai Mbah San pun saya dengarkan anak-anak tertawa-tawa sambil mengaji seperti layaknya pengajian biasa. Tidak ada seruan provokatif dari ustadznya.