Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menziarahi Makam Jambon, Memaknai Ulang Toleransi

26 September 2019   20:17 Diperbarui: 27 September 2019   01:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau warga? Keberatan tidak?" Desak saya lagi.

Mbah San orang yang sangat hati-hati dan lambat berbicara, memilih dan memilah makna. Tapi kemudian dia menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali, "Warga di sini aman dan tentram. Kami menghormati satu sama lain.

Saya tidak tahu kalau ditanya satu per satu, tapi saya rasa semua akan baik-baik saja. Asal sebelumnya berunding dulu saja. Itulah gunanya kita hidup bermasyarakat kan? Semuanya dibicarakan dan disepakati bersama."

Sambil duduk setengah bersila di tengah bangku saya, dia melanjutkan ceritanya tentang bagaimana rukunnya hidup di daerah ini, sampai akhirnya orang luar dan wartawan mengusik dengan kehebohan tersebut.

dokpri
dokpri
"Kita semua tidak punya masalah. Sampai kemudian datang teman-temannya. Ya mungkin maksudnya hanya memotret saja. Lalu diposting di media sosial. Temannya bertanya kok salibnya terpotong. Lalu disebar ulang dengan tulisan memprovokasi. Ditambah-tambahi, dibumbui, seolah kami membenci dan mendiskriminasi almarhum, padahal tidak. Kami mencintai beliau," kata Mbah San menerawang. Kerutan di wajahnya yang coklat keemasan semakin jelas di bawah temaram lampu.

makam-jawa-3-5d8cb98c097f36395b2de5e3.jpeg
makam-jawa-3-5d8cb98c097f36395b2de5e3.jpeg
"Kira-kira siapa yang memotong salib itu, Mbah?" Saya masih tak puas.

"Sekali lagi saya tidak tahu. Tapi mungkin anak-anak muda, yang gairah beragamanya masih terlalu kuat, mengalahkan kebijaksanaan di dalam dirinya. Kami-kami yang sudah tua tentu tidak akan setega itu melakukannya, walau andai ada satu atau dua yang juga tidak setuju dengan bentuk nisan seperti itu." Jawab Mbah San masih menghela napas.

"Ada Islam garis keras di sini yang katanya ikut-ikutan?"

"Dulu.. dulu ada beberapa pengajian seperti itu di sini. Tapi dulu, saat pemerintah masih lunak terhadap gerakan-gerakan garis keras. Sekarang sudah hilang. Lihat saja tidak ada kan pengajian seperti itu tadi di dalam kompleks."

Ya, saya memang gagal menemukan ciri-ciri penganut garis keras di sekitar perumahan sini. Tidak terlihat ada yang celananya cingkrang, janggut tebal, atau perempuan yang tenggelam alam jubah hitam dan cadar. Semua berpakaian biasa-biasa saja.

Dari musala di sebelah kedai Mbah San pun saya dengarkan anak-anak tertawa-tawa sambil mengaji seperti layaknya pengajian biasa. Tidak ada seruan provokatif dari ustadznya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun