"Lha, iya." Sahut Mbah San, atau nama lengkapnya Dahlisan, alias dari lisan, begitu katanya. "Saya ini ga mau dibawa-bawa ke masalah agama lho, ya. Biarlah itu jadi urusan kita dengan yang maha kuasa saja, berdua. Urusan masing-masing," dalih Mbah San dengan bijak.
"Yang ribut ini kan sebenarnya kita-kita saja, yang masih hidup. Bayangkan kalau almarhumah tiba-tiba teriak protes nisannya tidak sesuai imannya dia. Bisa geger itu satu kampung! Hehehe.." lanjut saya lagi.
"Ya itulah. Sebenarnya kan almarhum itu orang baik sekali. Dia disenangi oleh banyak warga di sekitar. Itulah kenapa keluarganya tidak perlu repot-repot menguburkan di pemakaman khusus kristen atau di gerejanya.
Kami mengurusi keperluan penguburannya bersama-sama. Bersepakat. Cuma ya karena baru kali ini ada yang kristen di kompleks ini, maka kami pun berunding, bagaimana cara memakamkan beliau," Lanjut Mbah San.
"Orang baik? Sebaik apa?" Tanya saya.
"Banyak warga tertolong dengan kehadirannya, walaupun agamanya beda. Itu kenapa akhirnya lama-lama dia pun dianggap bagian dari warga sini, dan dipersilakan dimakamkan bersama-sama kita semua."
"Tidak ada diskriminasi?" buru saya lagi.
"Apa yang didiskriminasi? Makamnya saja ditaruh paling depan," Jawab Mbah San sambil mengaduk-aduk sambel belut di kotak tupperware yang makin wangi merasuk hidung saya. Lidah saya mencecap dengan liurnya.
Mbah San menawarkan sebungkus nasi kucing berukuran sedang, saya buka dan menemukan potongan kecil tempe di dalamnya.