Saat di dunia nyata, kita bisa melihat dan mendengar argumentasi kedua pihak dengan lebih jernih, tanpa harus ada manipulasi pendapat orang lain, tak harus ada saling bully, keroyokan, bahkan penciptaan opini secara tidak wajar melalui pengerahan cyber army atau buzzer.
Namun saat diskusi ini berakhir dan kembali diperbincangkan di media sosial, saya merasa bahwa ujungnya ya kembali lagi ke titik nol.
Potong-memotong, tambah-menambahi pendapat orang lain yang tidak pernah dia utarakan, kembali terjadi. Lalu menang kalah ditentukan rasa suka tidak suka, bukannya memeriksa apakah benar argumentasi yang disampaikan, ataukah hanya dinilai dengan subjektivitas.
Bahkan yang agak menyebalkan saat penutup diskusi ini pun dimanipulasi seolah kejadiannya adalah Dandhy Laksono menskak mat Budiman Sudjatmiko dengan pernyataannya sewaktu masih di PRD, yang mendukung solusi referendum bagi Timor Leste.
Agaknya Dandhy dan para fansnya ingin menggiring bahwa Budiman tidak konsisten, dan seolah bisa dipaksa untuk setuju bahwa seharusnya Papua juga diberi opsi referendum.
Saya sendiri berkerut kening, karena setahu saya memang bukan seperti itu yang disampaikan Budiman Sudjatmiko saat diadili di Pengadilan Negeri Jakarta pusat tahun 1998 yang saya tonton dulu saat masih SMP.
Debat antara dua orang yang kekiri-kirian harusnya sangat rasional, mempertimbangkan fakta yang ada, bukan malah jatuh kepada saling serang semua lawan semuam yang akhirnya jatuh kepada sikap khas orang kanan, bukannya sebuah progres kemajuan.Â
PRD sejak awal tetap menganggap Aceh dan Papua sebagai bagian Indonesia. Ia tidak seperti Timor Leste yang kemudian harus diberikan pilihan referendum. Manifesto itu menyebutkan bahwa pendekatan untuk Aceh dan Papua haruslah dialog, dan menganggap mereka sebagai bagian dari Indonesia.
Ia juga seolah membantah bahwa telah lari dari awal perjuangannya saat masih muda. Justru, banyak poin dari cita-cita Partai Rakyat Demokratik banyak yang telah terwujud, antara lain Timur Leste telah dimerdekakan, pemilu multi partai yang diselenggarakan KPU yang independen bukannya oleh Kemendagri, Undang-Undang Desa, hingga pemeriksaan ulang kekayaan negara.
Sebagian dari mimpi-mimpi itu telah terjadi dan berjalan. Ia menyatakan semua itu adalah hasil dari kepercayaan atas sains, belajar dari perjalanan sejarah, dan mewariskan Indonesia yang bisa dikelola oleh masyarakat desa dan para tribes.