Misalnya jika orang dengan gangguan jiwa mengunjungi tanah suci Yerussalem, maka ia bisa terpengaruh pemikiran messiah complex dengan pengaruh agama Kristen atau Yahudi yang dikenal sebagai Jerussalem syndrome. Lebih jauh, seorang penderita messiah complex akan merasa dialah juru selamat dunia yang penuh dosa.
Sejujurnya, sampai saat menulis artikel ini, saya masih mengingat-ingat apakah Soekarno pernah membuat pernyataan atau keputusan-keputusan yang mengarah kepada gejala messiah complex.
Tidak hanya kepada Soekarno, tudingan messiah complex ini kemudian diarahkan kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan, yang membuat kening saya langsung berkerut. Messiah complex disederhanakan kepada keinginan memberadabkan orang lain yang tidak kita kenali dengan baik.
Ia mengingatkan bahwa orang Papua mengharapkan sebuah kemerdekaan untuk dirinya sendiri, atau setidaknya sebuah referendum dengan sistem one man one vote untuk bisa mengetahui apakah orang Papua sepakat untuk merdeka atau tetap bergabung ke Indonesia.
Ia juga memperingatkan bahwa dari segi keragaman Bahasa saja, Papua bisa disetarakan dengan kekayaan bahasa di Indonesia, walaupun jumlah penduduknya lebih sedikit.
Dengan argumentasi yang hampir terbangun baik dan nyaris meyakinkan saya, kembali Dandhy membuat serangan personal, dengan menyetarakan lawan diskusinya, Budiman, sebagai musuh orang Papua. Sayang sekali, karena saya yakin klaim seperti ini tidak bisa dibuktikan, lebih kepada usaha merendahkan lawan diskusi, alias ad hominem.
Bagi Dandhy, mempertanyakan kesiapan Papua untuk merdeka adalah sebuah sikap rasis. Ia membandingkan, bahwa saat Indonesia merdeka pun kebanyakan rakyatnya buta huruf, sehingga harusnya juga tak pantas merdeka. Namun kenyataannya, Indonesia bisa menjalankan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa yang tersurat dalam Pembukaan UUD.
Bagi saya sendiri, perbandingan seperti ini kurang nyambung, karena yang diajukan sebelumnya adalah kesiapan dalam hal infrastruktur, tools, dan kesepakatan sebagai sebuah negara, seperti halnya Indonesia memulai dengan Sumpah Pemuda, penyusunan naskah kemerdekaan, hingga akhirnya proklamasi dan pembangunan untuk mengisinya. Bukan masalah apakah problem inteligensia orang Papua.
Dandhy kemudian kembali berputar kepada sejarah awal terpecah-pecahnya di awal sejarah Indonesia dan dipaksakan menyatu kepada suku-suku lain yang mereka tidak merasa punya kaitan, seperti orang Sumatera dan Sulawesi yang dipaksakan bergabung dalam satu provinsi.
Dandhy melanjutkan inisiasinya bahwa tidak ada perubahan apapun sejak Papua dipaksa menyatu ke Indonesia. Ia mengklaim bahwa berbagai eksperimen terhadap Papua, termasuk otonomi khusus, tidak menghasilkan apapun.