"Saat ditanya Orang Papua oleh grass root, 'Bapa, apa itu New York Agreement kah?, dijawab Elite Papua, 'Oh begini.. New York Agreement itu iblis ketemu jin, disaksikan oleh setan tanpa melibatkan kita!'"
Seperti juga Dandhy sulit membayangkan persoalan keterwakilan Papua dalam kemerdekaan Indonesia, saya juga sulit mencari sejak kapan ada diskusi seperti ini dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Dandhy kemudian kembali ke track argumen yang bisa dipahami, saat ia menyebutkan kembali konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa "...kemerdekaan adalah hak segala bangsa."
Dan ia mempertanyakan bahwa konsep bangsa sebenarnya sangat fleksibel, tergantung imajinasi apa yang mempersatukan bangsa tersebut. Maka orang Papua pun bisa membangun imajinasi mereka sendiri sebagai sebuah bangsa.
Dandhy kemudian menyambungkan argumennya dengan pemekaran daerah, seperti Gorontalo, yang juga memakai argumen, yang menurut kesimpulannya sendiri, adalah sama.
Imperium Romawi bisa saja terdiri dari berbagai bangsa, mulai dari Bangsa Roma, Yahudi, Galia, dan sebaginya, tidak bisa didefinisikan sebuah bangsa atas persamaan ras.
Menurut Budiman, memang organisasi kekuasaan akan terus berubah. Konsep bangsa muncul saat kapitalisme butuh membuka pasar, sehingga butuh cap-cap baru atas bangsa yang sama nasibnya, lalu terbentuklah negara.
Fenomena ini mulai muncul pada abad 19, seiring hancurnya feodalisme dan kolonialisme, sehingga selanjutnya muncullah nasionalisme.
Saat perang dunia terjadi, dan perlahan kolonialisme hancur, maka muncullah wilayah-wilayah baru tanpa pemerintahan yang ingin dan diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Papua, kemudian masuk dalam kesepakatan Indonesia membangun bangsanya berdasarkan kesepakatan perasaan senasib sebagai bekas jajahan Belanda, yang kemudian didukung oleh dunia internasional.