Budiman Sudjatmiko mengakui memang dalam penentuan pendapat dulu, dikritik bahwa belum digunakan sistem one man one vote. Ia berargumen bahwa sampai saat ini pun, dalam Pemilu Papua belum bisa membuktikan secara keseluruhan sanggup mempraktikkan one man one vote.
Saya merasa, tampaknya ini merujuk kepada kenyataan masih digunakannya sistem noken dalam Pemilu di beberapa tempat di Papua.
Pernyataan cukup kontroversial dari Budiman Sudjatmiko adalah ia tidak bisa menyetujui pernyataan "NKRI Harga Mati!" Yang langsung disambar oleh Dandhy, "Lalu tadi maksudnya tidak menyetujui referendum apa?"
Pertanyaan ini langsung dijawab bahwa Budiman lebih menyetujui kalau NKRI dianggap sebagai sebuah "Modal awal yang mutlak dan perlu". Ia kemudian menjelaskan bahwa dengan pengertian ini, maka akan sulit untuk kembali lagi ke titik nol, menegosiasikan kembali bagaimana membangun bangsa dari awal, padahal ini sudah disepakati 70an tahun yang lalu. Ini akan membuang-buang energi yang sangat besar.
Dengan konsep NKRI sebagai modal awal yang mutlak dan perlu, maka bangsa kesatuan menjadi titik awal perjuangan, bukan tujuan akhir yang sama sekali tidak boleh diubah. Ini memungkinkan bahwa di masa depan mungkin saja definisi dan konsep negara bangsa bisa dikembangkan sesuai tuntutan zaman.
Jadi mungkin saja nantinya ada persekutuan lain di laur negara-bangsa, walaupun saat ini belum dimungkinkan dan belum bisa dibayangkan manusia pada masa kini.
Berbeda dengan Dandhy Laksono, Budiman Sudjatmiko lebih luas menarik persoalaan kebangsaan ini kepada persoalan dunia internasional, tidak hanya fokus kepada sejarah Papua. Untuk bisa memperjuangkan suatu perubahan hingga saat ini, manusia membutuhkan perkakas, mulai dari mesin, kereta api, komputer, hingga handphone.
Maka dengan memaksakan referendum, konsep one man one vote, dan selanjutnya kemerdekaan, sementara belum ada kesiapan instrumen, dan pranata untuk menyambutnya, maka yang dihasilkan malah fenomena mati muda.
Dalam arti konsep Negara-Bangsa Papua malah menghasilkan kehancuran bagi orang Papua itu sendiri, atau setidaknya stunting, tumbuh dengan kerdil. Dan dalam kondisi terburuk, yang dihasilkan adalah kehancuran.
Dandhy Laksono kemudian menyerang kembali secara personal bahwa ia membiarkan Budiman Sudjatmiko melantur secara tidak relevan. Ia juga menggunakan kembali imajinasi fiksi, bahwa Soekarno menganggap nusantara sebagai tanah kosong. Soekarno dianggap Paman Gepetto mengendalikan Pinokio. Bahkan lebih jauh menuduh adanya pengaruh Messiah Complex.
Saya kembali tidak bisa memahami jika Presiden Pertama kita mengalami messiah complex, karena definisi messiah complex yang saya temukan bukan hanya perasaan menjadi superior dan orang lain harus tunduk. Messiah complex terjadi atas problem religiusitas, yang setahu saya Soekarno bukanlah tipe manusia yang sefanatik itu dalam beragama.